Showing posts with label Kelas X. Show all posts
Showing posts with label Kelas X. Show all posts

Friday, July 31, 2020

Terbentuknya Jaringan Nusantara Melalui Perdagangan

Nusantara merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera hingga Papua. Pusat-pusat integrasi Nusantara berlangsung melalui penguasaan laut. Pusat-pusat integrasi itu berubah menjadi pertumbuhan jalur perdagangan yang melewati lokasi-lokasi strategis di pinggir pantai, dan kemampuan mengendalikan (kontrol) politik dan militer para penguasa tradisional (raja-raja) dalam menguasai jalur utama dan pusat-pusat perdagangan di Nusantara. Nusantara merupakan salah satu sentra dan jalur perdagangan yang mempunyai tugas penting, terutama Selat Malaka yang merupakan jalur penting dalam pelayaran dan perdagangan. Jalur ini merupakan pintu gerbang pelayaran yang dikenal dengan nama Jalur Sutra. Dinamakan Jalur Sutra alasannya yaitu komoditas kain sutra yang dibawa dari Cina untuk diperdagangkan ke banyak sekali wilayah lain.

Jika pada masa praaksara hegemoni budaya secara umum dikuasai tiba dari pendukung budaya Austronesia di Asia Tenggara Dartan. Pada masa perkembangan Hindu-Buddha di Nusantara terdapat dua kekuatan peradaban besar, yaitu Cina di utara dan India di bab barat daya. Keduanya merupakan dua kekuatan yang mempunyai imbas amat besar terhadap penduduk di Kepulauan Indonesia. Peralihan rute perdagangan dunia ini telah membawa berkah tersendiri bagi masyarakat dan suku bangsa di Nusantara.

Selat Malaka menjadi penting sebagai pintu gerbang yang menghubungkan antara pedagang-pedagang Cina dan pedagang-pedagang India. Selat itu merupakan jalan laut yang menghubungkan Arab dan India di sebelah barat laut Nusantara, dan dengan Cina di sebelah timur laut Nusantara. Ramainya rute pelayaran ini mendorong timbulnya bandar-bandar penting di sekitar jalur, antara lain Samudra Pasai, Malaka, dan Kota Cina (Sumatra Utara sekarang).

Kehidupan penduduk di sepanjang Selat Malaka menjadi lebih sejahtera oleh proses integrasi perdagangan dunia. Mereka menjadi lebih terbuka secara sosial ekonomi untuk menjalin korelasi niaga dengan pedagang-pedagang absurd yang melewati jalur itu. Kebudayaan India dan Cina ketika itu terperinci sangat besar lengan berkuasa terhadap masyarakat di sekitar Selat Malaka. Bahkan hingga dikala ini imbas budaya terutama India masih sanggup kita jumpai pada masyarakat sekitar Selat Malaka.

Selama masa Hindu-Buddha kepulauan Indonesia juga berkembang pesat terutama alasannya yaitu terhubung oleh jaringan Laut Jawa hingga Kepulauan Maluku. Mereka secara tidak eksklusif juga terintegrasikan dengan jaringan ekonomi dunia yang berpusat di sekitar Selat Malaka, dan sebagian di pantai barat Sumatra menyerupai Barus. Komoditas penting yang menjadi barang perdagangan pada dikala itu yaitu rempah-rempah, menyerupai kayu manis, cengkih, dan pala.

Pertumbuhan jaringan dagang internasional dan antarpulau telah melahirkan kekuatan politik gres di Nusantara. Peta politik di Jawa dan Sumatra masa ke-7, menyerupai ditunjukkan oleh D.G.E. Hall, bersumber dari catatan pengunjung Cina yang tiba ke Sumatra. Dua negara di Sumatra disebutkan, Mo-lo-yeu (Melayu) di pantai timur, tepatnya di Jambi kini di muara Sungai Batanghari. Agak ke selatan dari itu terdapat Che-li-fo-che, pengucapan cara Cina untuk kata bahasa sanskerta, Sriwijaya. Di Jawa terdapat tiga kerajaan utama, yaitu di ujung barat Jawa, terdapat Tarumanegara, dengan rajanya yang terkemuka Purnawarman, di Jawa bab tengah ada Ho-ling (Kalingga), dan di Jawa bab timur ada Singhasari dan Majapahit.

Selama periode Hindhu-Buddha, kekuatan besar Nusantara yang mempunyai kekuatan integrasi secara politik, sejauh ini dihubungkan dengan kebesaran Kerajaan Sriwijaya, Singhasari, dan Majapahit. Kekuatan integrasi secara politik di sini maksudnya yaitu kemampuan kerajaan-kerajaan tradisional tersebut dalam menguasai wilayah-wilayah yang luas di Nusantara di bawah kontrol politik secara longgar dan menempatkan wilayah kekuasaannya itu sebagai kesatuan-kesatuan politik di bawah pengawasan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dengan demikian pengintegrasian antarpulau secara lambat laun mulai terbentuk.

Kekuasaan mereka bisa mengontrol sejumlah wilayah Nusantara melalui banyak sekali bentuk media. Selain dengan kekuatan dagang, politik, juga kekuatan budayanya, termasuk bahasa. Interelasi antara aspek-aspek kekuatan tersebut yang menciptakan mereka berhasil mengintegrasikan Nusantara dalam pelukan kekuasaannya. Kerajaan-kerajaan tersebut berubah menjadi kerajaan besar yang menjadi representasi pusat-pusat kekuasaan yang kuat dan mengontrol kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di Nusantara.

Hubungan sentra dan daerah hanya sanggup berlangsung dalam bentuk korelasi hak dan kewajiban yang saling menguntungkan (mutual benefit). Keuntungan yang diperoleh dari sentra kekuasaan antara lain, berupa legalisasi simbolik menyerupai kesetiaan dan pembayaran upeti berupa barang-barang yang digunakan untuk kepentingan kerajaan, serta barang-barang yang sanggup diperdagangkan dalam jaringan perdagangan internasional. Sebaliknya kerajaan-kerajaan kecil memperoleh sumbangan dan rasa aman, sekaligus pujian atas korelasi tersebut.

Jika sentra kekuasaan sudah tidak mempunyai kemampuan dalam mengontrol dan melindungi daerah bawahannya, maka sering terjadi pembangkangan dan semenjak itu kerajaan besar terancam disintegrasi. Kerajaan-kerajaan kecil kemudian melepaskan diri dari ikatan politik dengan kerajaan-kerajaan besar usang dan beralih loyalitasnya dengan kerajaan lain yang mempunyai kemampuan mengontrol dan lebih bisa melindungi kepentingan mereka. Secara keseluruhan proses integrasi yang lambat laun itu kian mantap dan kuat, sehingga kian mengukuhkan Nusantara sebagai negeri kepulauan yang dipersatukan oleh kekuatan politik dan perdagangan.

Kekuatan besar Nusantara yang mempunyai kekuatan integrasi secara politik selalu dihubungkan dengan kebesaran Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kekuatan integrasi secara politik di sini maksudnya yaitu kemampuan kerajaan-kerajaan tersebut dalam menguasai wilayah-wilayah yang luas di Nusantara di bawah kontrol publik di bawah pengawasan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dengan demikian, pengintegrasian antar pulau secara lambat laun mulai terbentuk.

Peta jaringan perdagangan pada masa Sriwijaya
 Nusantara merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang membe Terbentuknya Jaringan Nusantara Melalui Perdagangan
Peta jaringan perdagangan Majapahit
 Nusantara merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang membe Terbentuknya Jaringan Nusantara Melalui Perdagangan
Komoditas apa yang menarik bagi kaum pedagang untuk mendatangi pelabuhan yang ada di Kepulauan Indonesia? Bandingkan dengan perdagangan dikala ini, komoditas apakah yang diminati dalam perdagangan internasional? Komoditas penting yang menarik bagi kaum pedagang ialah rempah-rempah, menyerupai kayu manis, cengkih dan pala. Hal ini yang menciptakan kaum pedagang berdatangan ke pelabuhan-pelabuhan yang ada di Kepulauan Indonesia. Sedangkan pada masa kini, komoditas yang menarik bagi para pedagang dari luar negeri untuk mendatangi pelabuhan di Indonesia ialah komoditas kelapa sawit yang ada dan dibududayakan di Pekanbaru, Riau. Selain kelapa sawit, yang menjadi komoditas penting bagi Indonesia ialah kakao.

Carilah pelabuhan yang terdekat dengan kota yang ada di sekitar daerah tempat tinggalmu. Bagaimanakah berdasarkan pendapatmu perihal pelabuhan itu? Pelabuhan Ketapang (Banyuwangi), pelabuhan ini menghubungkan antara Pulau Jawa dan Pulau Bali. Akses melalui pelabuhan ini merupakan jalan utama untuk menuju Pulau Bali. Pelabuhan ini sangat ramai terutama pada hari-hari besar, menyerupai hari-hari menjelang Lebaran. Selain terdapat kapal yang mengangkut orang sebagai transportasi penghubung Pulau Jawa - Bali, di pelabuhan ini juga terdapat kapal tongkang yang digunakan untuk mengangkut komoditas minyak bumi dari Pulau Jawa ke Pulau Bali.

Peran Laut Masa Hindu-Budha dan Masa Kini
Pada pembahasan ini kita telah membahas perihal tugas laut pada masa Hindu-Buddha. Laut berperan sebagai media transportasi utama perdagangan dunia pada masa Hindu-Buddha, masyarakat di zaman Hindu-Budha tidak hanya berdagang, namun juga mengembangkan agama Hindu dan Buddha di Indonesia. Laut berfungsi sebagai jalur kemudian lintas pelayaran dan perdagangan antar wilayah di Indonesia pada zaman tersebut dan negara-negara lain di dunia menyerupai India, Cina (Tiongkok) dan lain-lain. Peran laut bagi Negara Indonesia pada masa kini, antara lain sebagai berikut:
  1. Sarana Transportasi. Laut bagi bangsa Indonesia bukanlah sebagai pemisah melainkan sebagai pemersatu bangsa. Melalui jalur lautlah, bangsa Indonesia bertransportasi ke luar pulau. Melalui jalur laut juga, sebagian besar keperluan bangsa Indonesia diangkut. Oleh alasannya yaitu itu, laut benar-benar menjadi sarana transportasi bagi Negara Indonesia.
  2. Peranan laut sebagai pengontrol iklim bumi. Laut mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengontrol iklim di Bumi. Karena laut memindahkan panas dari daerah ekuator menuju ke kutub. Tanpa peranan laut, maka hampir keseluruhan planet Bumi akan menjadi terlalu cuek bagi insan untuk hidup.
  3. Peran laut bagi pertahanan dan keamanan. Keberadaan laut di sebuah negara juga menjadi perlambang kekuatan sebuah negara. Indonesia dengan jumlah daerah laut yang cukup luas sejatinya menyebabkan Indonesia sebagai salah satu negara maritim yang tangguh, tentunya dengan dibarengi kekuatan sistem pertahanan dalam negeri yang baik. Laut Indonesia selain luas juga mempunyai kekayaan yang luar biasa.
  4. Sumber Pangan. Laut Indonesia juga berfungsi sebagai sumber pangan terutama protein hewani dalam bentuk ikan dan hasil laut lainnya. Bangsa Indonesia bisa mengekspor ikan dan hasil-hasil laut lainnya ke mancanegara. Indonesia juga berhasil dalam mengembangkan perjuangan perikanan, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor.
  5. Pertambangan. Laut juga termasuk wilayah pertambangan yang sangat potensional bagi bangsa Indonesia. Salah satu hasil tambang terpenting yang dihasilkan dari laut Indonesia ialah minyak bumi dan gas bumi yang sudah diekspor ke mancanegara.
  6. Rekreasi dan Pariwisata. Sebagai sebuah negara tropis, panorama laut Indonesia sangat luar biasa indah dan sanggup dijadikan sentra wisata laut sehingga sanggup menambah devisa negara. Contohnya saja Taman Laut Bunaken di Sulawesi Utara dan Wakatobi di Sulawesi Tengah.
  7. Bahan Baku Obat-Obatan. Laut juga sangat populer dengan kekayaan alam nabati maupun hewani yang sanggup digunakan untuk materi baku pembuatan obat-obatan herbal. Ekstrak dari banyak sekali jenis tumbuhan dan binatang itu sangat bermanfaat bagi badan manusia, baik untuk mengobati maupun mencegah banyak sekali macam penyakit.

Akulturasi Kebudayaan Nusantara Dan Hindu-Buddha

Masyarakat Indonesia semenjak zaman dahulu telah mempunyai kebudayaan sendiri, selama ini dipahami yaitu proses masuknya budaya Hindu dan Buddha tak lepas dari acara perdagangan yang terjadi di Tanah Air. Melalui perdagangan terjadilah akulturasi budaya. Akulturasi kebudayaan yaitu suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan gres yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan kepribadian/ciri khasnya. Untuk sanggup berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Buddha dari India dengan kebudayaan Indonesia asli.

Kebudayaan Hindu dan Buddha pada umumnya dibawa oleh para pedagang yang berasal dari India. Akibat interaksi antara pedagang dan penduduk pribumi, maka terjadilah akulturasi kebudayaan Hindu dan Buddha dengan kebudayaan orisinil nenek moyang kita. Namun, bukan berarti kebudayaan abnormal tersebut diterima begitu saja oleh masyarakat Indonesia waktu itu, setiap budaya yang masuk mengalami proses adaptasi dengan budaya orisinil di Nusantara. Bentuk akulturasi budaya Hindu-Buddha yaitu dalam bentuk seni bangunan, seni rupa dan seni ukir, seni pertunjukkan, seni sastra dan aksara, sistem kepercayaan, dan sistem pemerintahan. Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia orisinil sebagai berikut.

1. Seni Bangunan
Bentuk-bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya Hindu-Buddha dengan unsur budaya Indonesia asli. Bangunan yang megah, patung-patung perwujudan tuhan atau Buddha, serta bagian-bagian candi dan stupa yaitu unsur-unsur dari India. Bentuk candi-candi di Indonesia pada hakikatnya yaitu punden berundak yang merupakan unsur Indonesia asli. Candi Borobudur merupakan salah satu pola dari bentuk akulturasi tersebut.

Candi Budha di India hanya berbentuk stupa, sedangkan di Indonesia stupa merupakan ciri khas atap candi-candi yang bersifat agama Budha. Dengan demikian seni bangunan candi di Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri lantaran Indonesia hanya mengambil pada dasarnya saja dari unsur budaya India sebagai dasar ciptaannya dan kesannya tetap sesuatu yang bercorak Indonesia.

2. Seni Rupa dan Seni Ukir
Masuknya dampak India dalam bidang seni sanggup dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan pada penggalan dinding-dinding candi. Misalnya, relief yang dipahatkan pada dinding-dinding pagar langkan di Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat Sang Buddha. Di sekitar Sang Buddha terdapat lingkungan alam Indonesia menyerupai rumah panggung dan burung merpati. Dari relief-relief tersebut apabila diamati lebih lanjut, ternyata Indonesia juga mengambil kisah orisinil ceritera tersebut, tetapi suasana kehidupan yang digambarkan oleh relief tersebut yaitu suasana kehidupan orisinil keadaan alam ataupun masyarakat Indonesia. Dengan demikian Indonesia tidak mendapatkan begitu saja budaya India, tetapi selalu berusaha menyesuaikan dengan keadaan dan suasana di Indonesia.
 Masyarakat Indonesia semenjak zaman dahulu telah mempunyai kebudayaan sendiri Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu-Buddha
Pada relief kala makara pada candi dibentuk sangat indah. Hiasan relief kala makara, dasarnya yaitu motif hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal semacam ini sudah dikenal semenjak masa sebelum Hindu. Binatang-binatang itu dipandang suci, maka sering diabadikan dengan cara di lukis.

3. Seni Pertunjukan
Menurut JLA Brandes, gamelan merupakan satu diantara seni pertunjukan orisinil yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebelum masuknya unsur-unsur budaya India. Selama waktu beraba-dabad gamelan juga mengalami perkembangan dengan masuknya unsur-unsur budaya gres baik dalam bentuk maupun kualitasnya. Gambaran mengenai bentuk gamelan Jawa kuno masa Majapahit sanggup dilihat pada beberapa sumber, antara lain prasasti dan kitab kesusastraan. Macam-macam gamelan sanggup dikelompokkan dalam chordaphones, aerophones, membranophones, tidophones, dan xylophones.

4. Seni Sastra dan Aksara
Pengaruh India membawa perkembangan seni sastra di Indonesia. Seni sastra waktu itu ada yang berbentuk prosa dan ada yang berbentuk tembang (puisi). Berdasarkan isinya, kesusastraan sanggup dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tutur (pitutur kitab keagamaan), kitab hukum, dan wiracarita (kepahlawanan). Bentuk wiracarita ternyata sangat populer di Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata. Kemudian timbul wiracarita hasil gubahan dari para pujangga Indonesia. Misalnya, Baratayuda yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Juga munculnya cerita-cerita Carangan. Sastra yang berkembang di Indonesia tidak sama persis menyerupai aslinya dari India lantaran sudah disadur kembali oleh pujangga-pujangga Indonesia, ke dalam bahasa Jawa kuno. 

Perkembangan seni sastra yang sangat cepat didukung oleh penggunaan huruf pallawa, contohnya dalam karya-karya sastra Jawa Kuno. Pada prasasti-prasasti yang ditemukan terdapat unsur India dengan unsur budaya Indonesia. Misalnya, ada prasasti dengan huruf Nagari (India) dan huruf Bali Kuno (Indonesia).

Berkembangnya karya sastra terutama yang bersumber dari Mahabarata dan Ramayana, melahirkan seni pertunjukan wayang kulit (wayang purwa). Wujud akulturasi dalam pertunjukan wayang tersebut terlihat dari pengambilan lakon ceritera dari kisah Ramayana maupun Mahabarata yang berasal dari budaya India, tetapi tidak sama persis dengan aslinya lantaran sudah mengalami perubahan. Bentuk dan ragam hias wayang, muncul pula tokoh-tokoh pewayangan yang khas Indonesia. Misalnya tokoh-tokoh punakawan menyerupai Semar, Gareng, dan Petruk. Tokoh-tokoh ini tidak ditemukan di India. 

Perubahan juga terletak dari karakter atau sikap tokoh-tokoh ceritera contohnya dalam kisah Mahabarata keberadaan tokoh Durna, dalam dongeng aslinya Dorna yaitu seorang maha guru bagi Pendawa dan Kurawa dan berperilaku baik, tetapi dalam lakon di Indonesia Durna yaitu tokoh yang berperangai jelek suka menghasut.

5. Sistem Kepercayaan
Sejak masa praaksara, di Kepulauan Indonesia waktu itu sudah mengenal simbol-simbol yang bermakna filosofis. Mereka juga sudah percaya adanya kehidupan sehabis mati, yakni adanya roh halus. Oleh lantaran itu, roh nenek moyang dipuja oleh orang yang masih hidup (animisme). Setelah masuknya dampak India kepercayaan terhadap roh halus tidak punah. Misalnya sanggup dilihat pada fungsi candi, yaitu dimanfaatkan sebagai tempat pemujaan atau untuk menyimpan bubuk mayat raja yang telah meninggal. Itulah sebabnya peripih tempat penyimpanan bubuk mayat raja didirikan patung raja dalam bentuk menyerupai tuhan yang dipujanya. Ini terang merupakan perpaduan antara fungsi candi di India dengan tradisi pemakaman dan pemujaan roh nenek moyang di Indonesia.

Agama Hindu-Budha yang berkembang di Indonesia, berbeda dengan agama Hindu-Budha yang dianut oleh masyarakat India. Perbedaaan-perbedaan tersebut contohnya sanggup dilihat dalam upacara ritual yang diadakan oleh umat Hindu atau Budha yang ada di Indonesia. Contohnya, upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu Bali, upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Hindu di India.

Bentuk bangunan lingga dan yoni juga merupakan tempat pemujaan terutama bagi orang-orang Hindu penganut Syiwaisme. Lingga yaitu lambang Dewa Syiwa. Secara filosofis lingga dan yoni yaitu lambang kesuburan dan lambang kemakmuran. Lingga lambang pria dan yoni lambang perempuan.

6. Sistem Pemerintahan
Pada masa sebelum masuknya Hindu-Budha masyarakat Nusantara, mengenal adanya sistem pemerintahan secara sederhana. Pemerintahan tersebut yaitu pemerintahan di suatu desa atau kawasan tertentu. Rakyat mengangkat seorang pemimpin atau semacam kepala suku. Orang yang dipilih sebagai pemimpin biasanya orang yang sudah bau tanah (senior), arif, sanggup membimbing, mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu termasuk dalam bidang ekonomi, berwibawa, serta mempunyai semacam kekuatan mistik (kesaktian). Setelah dampak India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja dan daerahnya disebut kerajaan. Hal ini secara terang terjadi di Kutai.

Salah satu bukti akulturasi dalam bidang pemerintahan, contohnya seorang raja harus berwibawa dan dipandang bila sang raja mempunyai kekuatan mistik menyerupai pada pemimpin masa sebelum Hindu-Buddha. Karena raja mempunyai kekuatan gaib, maka oleh rakyat raja dipandang bersahabat dengan dewa. Raja kemudian disembah, dan jikalau sudah meninggal, rohnya dipuja-puja.

7. Arsitektur
Dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat perbedaan dimana bentuk dasar bangunan candi di Indonesia yaitu punden berundak-undak,yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Megalithikum yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Sedangkan fungsi bangunan candi itu sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi tersebut. Perkataan candi berasal dari kata Candika yang merupakan salah satu nama dewi Durga atau dewi maut, sehingga candi merupakan bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya raja-raja dan orang-orang terkemuka.

Secara keseluruhan candi menggambarkan hubungan makrokosmos atau alam semesta yang dibagi menjadi tiga, yaitu alam bawah tempat insan yang masih mempunyai nafsu, alam antara tempat insan telah meninggalkan keduniawian dan dalam keadaan suci menemui Tuhannya, dan alam atas tempatdewa-dewa.

Kesimpulan
Kebudayaan Hindu-Budha yang masuk di Indonesia tidak diterima begitu saja melainkan melalui proses pengolahan dan adaptasi dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur asli. Hal ini disebabkan karena:
  1. Masyarakat Indonesia telah mempunyai dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi sehingga masuknya kebudayaan abnormal ke Indonesia menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia yang telah ada sebelumnya.
  2. Kecakapan istimewa yang dimiliki bangsa Indonesia atau local genius merupakan kecakapan suatu bangsa untuk mendapatkan unsur-unsur kebudayaan abnormal dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada di Indonesia. Perpaduan budaya Hindu-Budha melahirkan akulturasi yang masih terpelihara hingga sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan abnormal sesuai dengan kebudayaan Indonesia.

Kedatangan Islam Ke Nusantara

Masuknya Islam ke Nusantara yang kemudian melahirkan sebuah interaksi antara anutan Islam dengan penduduk Nusantara. Wujud dari keberlangsungan interaksi yang hingga kini masih terlihat ialah banyaknya umat Muslim Indonesia yang menjalankan ibadah haji dan umrah. Di samping itu tidak sedikit para ulama dari Timur Tengah yang berkunjung ke Indonesia dalam rangka berdakwah. Bagi umat Islam di Indonesia, aneka macam bentuk interaksi tersebut akan semakin memantapkan keimanan dan ketakwaan terhadap anutan agamanya. Perkembangan Islam di Nusantara tidak pernah terlepas dari dinamika Islam di kawasan-kawasan lain. Peradaban Islam Nusantara juga menampilkan ciri-ciri dan aksara yang khas, relatif berbeda dengan peradaban Islam di wilayah-wilayah perabadan Muslim lainnya, contohnya Arab, Turki, Persia, Afrika Hitam, dan Dunia Barat.

Kedatangan Islam ke Nusantara mempunyai sejarah panjang dan satu di antaranya ialah wacana interaksi anutan Islam dengan masyarakat di Nusantara yang kemudian memeluk Islam. Islam yang tiba pertama kali ialah Islam yang umumnya dibawa para guru pengembara Sufi, yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk membuatkan Islam. Islam sufistik yang dibawa para guru pengembara ini terang mempunyai kecenderungan kuat untuk lebih mendapatkan terhadap tradisi dan praktik keagamaan lokal. Bagi guruguru Sufi pengembara ini, yang paling penting ialah pengucapan dua kalimah syahadat, sesudah itu barulah memperkenalkan ketentuanketentuan aturan Islam. Terdapat aneka macam pendapat mengenai proses masuknya Islam ke Kepulauan Indonesia, terutama perihal waktu dan tempat asalnya.

1. Sarjana-sarjana Barat
Beberapa sarjana dari barat menyampaikan bahwa Islam yang masuk ke Kepulauan Indonesia berasal dari Gujarat sekitar era ke-13 M atau era ke-7 H. Mereka berasumsi bahwa Gujarat terletak di India belahan barat, berdekatan dengan Laut Arab. Letaknya sangat strategis, berada di jalur perdagangan antara timur dan barat. Pedagang Arab yang bermahzab Syafi’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar semenjak awal tahun Hijriyah (abad ke-7 M).
  • Menurut Pijnapel, yang membuatkan Islam ke Indonesia bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan para pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia Timur. 
  • C. Snouck Hurgronye, dan J.P. Moquetta (1912) mendukung pendapat Pijnapel. Argumentasi mereka didasarkan pada kerikil nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada 17 Dzulhijjah 831 H atau 1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, kerikil nisan di Pasai dan makam Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, mempunyai bentuk yang sama dengan kerikil nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta kemudian berkesimpulan bahwa kerikil nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibentuk oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah berguru kaligrafi khas Gujarat.

2. Hoesein Djajadiningrat 
Beliau menyampaikan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia berasal Persia (Iran sekarang). Pendapatnya didasarkan pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, ibarat yang berkembang dalam tradisi tabot di Pariaman di Sumatra Barat dan Bengkulu.

3. Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) 
Beliau menyampaikan bahwa Islam berasal dari tanah kelahirannya, yaitu Arab atau Mesir. Proses ini berlangsung pada abadabad pertama Hijriah atau era ke-7 M. Senada dengan pendapat Hamka, teori yang menyampaikan bahwa Islam berasal dari Mekkah dikemukakan Anthony H. Johns. Menurutnya, proses Islamisasi dilakukan oleh para musafir (kaum pengembara) yang tiba ke Kepulauan Indonesia. Kaum ini biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya dengan motivasi hanya pengembangan agama Islam.

Awal masuknya Islam di Nusantara pada pertengahan era ke-15, ibu kota Campa, Wijaya jatuh ke tangan Vietnam yang tiba dari utara. Dalam kenangan historis Jawa, Campa selalu diingat dalam kaitannya dengan Islamisasi. Dari sinilah Raden Rahmat anak seorang putri Campa dengan seorang Arab, tiba ke Majapahit untuk menemui bibinya yang telah kawin dengan raja Majapahit. Ia kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel salah seorang wali tertua. Sunan Giri bukan saja kuat di kalangan para wali tetapi juga dikenang sebagai penyebar agama Islam di Kepulauan Indonesia belahan Timur. Raja Ternate Sultan Zainal Abidin pergi ke Giri (1495) untuk memperdalam pengetahuan agama. Tak usang sesudah kembali ke Ternate, Sultan Zainal Abidin mangkat, tetapi dia telah menimbulkan Ternate sebagai kekuatan Islam. Di belahan lain, Demak telah berhasil mengislamkan Banjarmasin. Mata rantai proses Islamisasi di Kepulauan Indonesia masih terus berlangsung. Jaringan kolektif keislaman di Kepulauan Indonesia inilah nantinya yang mempercepat proses terbentuknya nasionalisme Indonesia.

Proses Islamisasi di Indonesia berlangsung dalam waktu yang panjang bahkan masih terus berlangsung. Berikan penjelasan! Islamisasi di Kepulauan Indonesia hingga kini prosesnya masih terus berjalan. Pasai dan Malaka, ialah tempat penyebaran islam dimulai. Pengaruh Pasai kemudian diwarisi Aceh Darussalam. Sedangkan Johor tidak pernah sanggup melupakan jasa dinasti Palembang yang pernah berjaya dan mengislamkan Malaka. Demikian pula Sulu dan Mangindanao akan selalu mengingat Johor sebagai pengirim Islam ke wilayahnya. Sementara itu Minangkabau akan selalu mengingat Malaka sebagai pengirim Islam dan tak pernah melupakan Aceh sebagai peletak dasar tradisi surau di Ulakan. Sebaliknya Pahang akan selalu mengingat pendatang dari Minangkabau yang telah membawa Islam. Peranan para perantau dan penyiar agama Islam dari Minangkabau juga selalu diingat dalam tradisi Luwu dan Gowa-Tallo.

Sampai dengan ketika ini proses islamisasi masih berlangsung, tentunya bentuknya berbeda dengan pada ketika pertama Islam menyebar di Nusantara. Munculnya aneka macam organisasi dan kelembagaan Islam modern di Indonesia, baik yang bersifat keagamaan, politik maupun ekonomi organisasi tersebut merupakan bentuk islamisasi pada ketika ini.

Mengapa Islam sanggup cepat diterima oleh masyarakat di Indonesia? Agama Islam gampang diterima oleh masyarakat nusantara alasannya ialah beberapa hal. Pertama, untuk masuk agama islam syaratnya tidak berat, yaitu cukup hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.  Kedua, upacara-upacara keagamaan dalam agama Islam sangat mudah (sederhana). Ketiga. dalam agama Islam tidak mengenal kasta ibarat pada agama Hindu. Keempat, Islam tidak menentang adat istiadat dan tradisi setempat. Kelima, penyebaran agama Islam di Nusantara dilakukan dengan jalan tenang yaitu melalui akulturasi. Itulah beberapa hal yang menimbulkan islam sanggup diterima oleh masyarakat Nusantara.

Sebutkan beberapa tugas tokoh pengembang agama Islam di Indonesia!
  1. Sunan Gresik (Maulanan Malik Ibrahim. inilah wali pertama tiba ke jawa pda era ke 13 dan menyiarkan islam di sekitar Gresik, dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.
  2. Sunan Ampel (Raden Rahmat) menyiarkan Islam di ampel surabaya., jawa timur. Beliau merupakan perancang Masjid Demak.
  3. Sunan Derajad (Syarifudin) anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Surabaya. Seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.
  4. Sunan Bonang (Makdum Ibrahim). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan islam di Tuban, Lasem,dan Rembang.
  5. Sunan Kalijaga (Raden Mas Said). Murid Sunan Bonang menyiarkan Islam di Jawa Tengah.
  6. Sunan Giri (Raden Paku) menyiarkan islam di luar Jawa ibarat Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku.
  7. Sunan Kudus (Jafar Sodiq) menyiarkan islam di Kudus, Jawa Tengah.
  8. Sunan Muria (Raden Umar Said) menyiarkan islam di lereng Gunung Muria, Jawa Tengah.
  9. Sunan Gunungjati (Syarif Hidayatullah) menyiarkan islam di Banten, Sunda Kelapa,dan Cirebon.

Coba kau diskusikan wacana upacara tabot di Bengkulu atau Tabuik di Pariaman!
  1. Tabot ialah upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang wacana dongeng kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M). Syeh Burhanuddin (Imam Senggolo) Menikah dengan perempuan Bengkulu kemudian anak, cucu mereka dan keturunan mereka disebut sebagai keluarga Tabot. upacara ini dilaksanakan dari 1 hingga 10 Muharram setiap tahun.
  2. Tabuik ialah perayaan dalam rangka memperingati Asyura, gugurnya Imam Husain, cucu Muhammad, yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di daerah pantai Sumatera Barat, khususnya di Kota Pariaman. Tabuik merupakan istilah untuk usungan mayit yang dibawa selama prosesi upacara tersebut. Upacara melabuhkan tabuik ke bahari dilakukan setiap tahun di Pariaman pada 10 Muharram semenjak 1831.

Buatlah bagan dan peta wacana proses kedatangan Islam di Indonesia!
 Masuknya Islam ke Nusantara yang kemudian melahirkan sebuah interaksi antara anutan Islam Kedatangan Islam ke Nusantara
Di lingkungan masyarakat di Indonesia terutama di pedesaan masih sering ada kegiatan kenduri atau selamatan untuk suatu kegiatan, kejadian atau peringatan kejadian tertentu yang disertai dengan doa-doa secara Islam, sementara bila dilihat asal usulnya di anutan Islam tidak ada. Mengapa dan bagaimana pendapat kamu?

Sebelum Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia itu sendiri sudah mengenal anutan animisme dan dinamisme. Agama Hindu-Buddha juga pernah masuk ke Indonesia jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia. Kenduri merupakan peninggalan Agama Hindu-Buddha. Kenduri biasanya dilaksanakan sebagai upacara sedekah masakan alasannya ialah seseorang telah meraih kesuksesan atau anugerah. Kenduri merupakan bentuk akulturasi Islam yang masuk ke tanah Jawa yang dilakukan para Walisanga untuk membuatkan Islam di tanah Jawa.

Islam Dan Jaringan Perdagangan Antar Pulau

Kepulauan Indonesia mempunyai bahari dan daratan yang luas. Masyarakat Nusantara pada umumnya yaitu masyarakat pesisir yang kehidupan mereka tergantung pada perdagangan antarpulau dan antarbenua. Sedangkan mereka yang berada di pedalaman yaitu masyarakat agraris, yang kehidupan mereka tergantung kepada pertanian. Pelaut tradisional Indonesia telah mempunyai keterampilan berlayar yang dipelajari dari nenek moyang secara turun-temurun. Sejak dulu mereka sudah mengenal teknologi arah angin dan trend untuk menentukan perjalanan pelayaran dan perdagangan. Warisan terbaik dari sejarah zaman Islam lainnya ialah adanya pengintegrasian Nusantara lewat nasionalisme keagamaan dan jaringan perdagangan antarpulau.

Laut telah berfungsi sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antar suku bangsa di kepulauan indonesia dan bangsa-bangsa di dunia. Nenek moyang kita telah mempunyai keterampilan berlayar yang di pelajari secara turun temurun. Sejak dulu mereka sudah mengenal teknologi arah angin dan trend untuk menentukan  perjalanan, pelayaran dan perdagangan.

Jaringan perdagangan dan pelayaran antarpulau di Nusantara terbentuk lantaran antarpulau saling membutuhkan barang-barang yang tidak ada di tempatnya. Untuk menunjang terjadinya relasi itu, para pedagang harus melengkapi diri dengan pengetahuan ihwal angin, navigasi, pembuatan kapal, dan kemampuan diplomasi dagang. Dalam kondisi menyerupai itu, munculah saudagar-saudagar dan syahbandar yang berperan melahirkan dan membangun pusat-pusat perdagangan di Nusantara.

Munculnya pusat-pusat perdagangan Nusantara disebabkan adanya kemampuan sebagai tempat berikut ini. Pertama, pemberi bekal untuk berlayar dari suatu tempat ke tempat lain. Kedua, pemberi tempat istirahat bagi kapal-kapal yang singgah di Nusantara. Ketiga, pengumpul barang komoditas yang dibutuhkan bangsa lain. dan terakhir, penyedia tempat pemasaran bagi barang-barang ajaib yang siap disebarkan keseluruh Nusantara.

Berdasarkan data arkeologis menyerupai prasasti-prasasti maupun data historis berupa berita-berita asing, kegiatan perdagangan di Kepulauan Indonesia sudah dimulai semenjak masa pertama Masehi.
  1. Jalur-jalur pelayaran dan jaringan perdagangan Kerajaan Sriwijaya dengan negeri-negeri di Asia Tenggara, India, dan Cina terutama menurut berita-berita Cina telah dikaji, antara lain oleh W. Wolters (1967).
  2. Catatan-catatan sejarah Indonesia dan Malaya yang dihimpun dari sumber-sumber Cina oleh W.P Groeneveldt, memperlihatkan adanya jaringan–jaringan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dengan banyak sekali negeri terutama dengan Cina. Kontak dagang ini sudah berlangsung semenjak abad-abad pertama Masehi hingga dengan masa ke-16. Kapal-kapal dagang Arab juga sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara semenjak permulaan masa ke-7. Dari literatur Arab banyak sumber isu ihwal perjalanan mereka ke Asia Tenggara.
  3. Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan yang bercorak Islam atau kesultanan, antara lain, Samudra Pasai dan Malaka yang tumbuh dan berkembang semenjak masa ke-13 hingga masa ke-15, sedangkan Ma Huan juga memberitakan adanya komunitas-komunitas Muslim di pesisir utara Jawa pecahan timur.
Adanya jalur pelayaran tersebut menimbulkan munculnya jaringan perdagangan dan pertumbuhan serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan dengan kota-kota bandarnya pada masa ke-13 hingga masa ke-18 misalnya, Samudra Pasai, Malaka, Banda Aceh, Jambi, Palembang, Siak Indrapura, Minangkabau, Demak, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Kutai, Banjar, dan kota-kota lainnya.

Jalur Perdagangan dari Sumber Tome Pires
Berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) memperlihatkan citra mengenai keberadaan jalur pelayaran jaringan perdagangan, baik regional maupun internasional. Ia menceritakan ihwal kemudian lintas dan kehadiran para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam. Selain itu Tome Pires juga mencatat kehadiran para pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabbol, Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva. Berdasarkan isu Tome Pires, buatlah peta jalur perdagangan di pecahan timur kepulauan Indonesia!
 Kepulauan Indonesia mempunyai bahari dan daratan yang luas Islam dan Jaringan Perdagangan antar Pulau
Berdasarkan kehadiran sejumlah pedagang dari banyak sekali negeri dan bangsa di Samudra Pasai, Malaka, dan bandar-bandar di pesisir utara Jawa sebagaimana diceritakan Tome Pires, kita sanggup mengambil kesimpulan adanya jalur-jalur pelayaran dan jaringan perdagangan antara beberapa kesultanan di Kepulauan Indonesia baik yang bersifat regional maupun internasional.

Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat sehingga acara perdagangan dan pelayaran di Samudra Hindia semakin ramai. Peningkatan pelayaran tersebut disebabkan makin majunya perdagangan Dinasti Abbasiyah (750-1258). Dengan  Baghdad sebagai pusat pemerintahan menggantikan Damaskus (Syam), acara pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia menjadi lebih ramai. Pedagang Arab yang selama ini hanya berlayar hingga India, semenjak masa ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka perjalanan ke Cina. Hubungan Arab dengan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia terjalin secara langsung. Hubungan tersebut menjadi semakin ramai ketika pedagang Arab dihentikan masuk ke Cina dan koloni mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu pemberontakan yang terjadi pada 879 H. Orang–orang Islam melarikan diri dari Pelabuhan Kanton dan meminta proteksi Raja Kedah dan Palembang.

Pola Perdagangan Setelah Jatuhnya Malaka
Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, mendorong para pedagang untuk mengambil jalur alternatif, dengan melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda. Pergeseran ini melahirkan pelabuhan mediator yang baru, menyerupai Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar dan lain sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh bajak laut. Akibat dari acara bajak laut, rute pelayaran perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa kemudian berubah melalui pesisir Sumatra dan Sunda. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan Barus, Pariaman, dan Tiku. Berikut ini yaitu gambar jalur perdagangan sebelum dan setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis.
 Kepulauan Indonesia mempunyai bahari dan daratan yang luas Islam dan Jaringan Perdagangan antar Pulau
Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia lebih terkonsentrasi pada perdagangan cengkih dan pala. Dari Ternate dan Tidore (Maluku) dibawa barang komoditi ke Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Somba Opu pada masa ke-16 telah menjalin relasi perdagangan dengan Patani, Johor, Banjar, Blambangan, dan Maluku. Adapun Hitu (Ambon) menjadi pelabuhan yang menampung komoditi cengkih yang tiba dari Huamual (Seram Barat), sedangkan komoditi pala berpusat di Banda. Semua pelabuhan tersebut umumnya didatangi oleh para pedagang Jawa, Cina, Arab, dan Makassar. 

Kehadiran pedagang itu mensugesti corak kehidupan dan budaya setempat, antara lain ditemui bekas koloninya menyerupai Maspait (Majapahit), Kota Jawa (Jawa) dan Kota Mangkasare (Makassar). Pada masa ke-15, Sulawesi Selatan telah didatangi pedagang Muslim dari Malaka, Jawa, dan Sumatra. Dalam perjalanan sejarahnya, masyarakat Muslim di Gowa terutama Raja Gowa Muhammad Said (1639-1653) dan putra penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) telah menjalin relasi dagang dengan Portugis. Bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng Pattingaloang turut memperlihatkan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fr. Vieira, meskipun mereka beragama Katolik. 

Kerjasama ini didorong oleh adanya perjuangan monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilancarkan oleh kompeni Belanda di Maluku.Hubungan Ternate, Hitu dengan Jawa sangat dekat sekali. Ini ditandai dengan adanya seorang raja yang dianggap benar-benar telah memeluk Islam ialah Zainal Abidin (1486-1500) yang pernah berguru di Madrasah Giri. Ia dijuluki sebagai Raja Bulawa, artinya raja cengkih, lantaran membawa cengkih dari Maluku sebagai persembahan. Cengkih, pala, dan bunga pala (fuli) hanya terdapat di Kepulauan Indonesia pecahan timur, sehingga banyak barang yang hingga ke Eropa harus melewati jalur perdagangan yang panjang dari Maluku hingga ke Laut Tengah. Cengkih yang diperdagangkan yaitu putik bunga flora hijau (szygium aromaticum atau caryophullus aromaticus) yang dikeringkan. Satu pohon ini ada yang menghasilkan cengkih hingga 34 kg. Hamparan cengkih ditanam di perbukitan di pulau-pulau kecil Ternate, Tidore, Makian, dan Motir di lepas pantai barat Halmahera dan gres berhasil ditanam di pulau yang relatif besar, yaitu Bacan, Ambon dan Seram.

Meningkatnya ekspor lada dalam kancah perdagangan internasional, menciptakan pedagang Nusantara mengambil alih peranan India sebagai pemasok utama bagi pasaran Eropa yang berkembang dengan cepat. Selama periode (1500- 1530) banyak terjadi gangguan di bahari sehingga bandar-bandar Laut Tengah harus mencari pasokan hasil bumi Asia ke Lisabon. Oleh lantaran itu secara berangsur jalur perdagangan yang ditempuh pedagang muslim bertambah aktif, ditambah dengan adanya perang di bahari Eropa, penaklukan Ottoman atas Mesir (1517) dan pantai Laut Merah Arabia (1538) memperlihatkan proteksi yang besar bagi berkembangnya pelayaran Islam di Samudra Hindia.

Meskipun banyak kota bandar, namun yang berfungsi untuk melaksanakan ekspor dan impor komoditi pada umumnya yaitu kota-kota bandar besar yang beribu kota pemerintahan di pesisir, menyerupai Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara-Demak, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Banjarmasin, Malaka, Samudra Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang dan Jambi. Kesultanan Mataram berdiri dari masa ke-16 hingga ke-18. Meskipun kedudukannya sebagai kerajaan pedalaman namun wilayah kekuasaannya mencakup sebagian besar pulau Jawa yang merupakan hasil perluasan Sultan Agung. Kesultanan Mataram juga mempunyai kota-kota bandar, menyerupai Jepara, Tegal, Kendal, Semarang, Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya. 

Dalam proses perdagangan telah terjalin relasi antaretnis yang sangat erat. Berbagai etnis dari kerajaan-kerajaan tersebut kemudian berkumpul dan membentuk komunitas. Misalnya,di Jakarta terdapat perkampungan Keling, Pekojan, dan kampung-kampung lainnya yang berasal dari daerah-daerah asal yang jauh dari kota-kota yang dikunjungi, menyerupai Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, dan Kampung Bali.

Pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam, sistem jual beli barang masih dilakukan dengan cara barter. Sistem tukar barang dilakukan antara pedagang-pedagang dari tempat pesisir dengan tempat pedalaman. Di beberapa kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam telah memakai mata uang sebagai nilai tukar barang. Beberapa macam mata uang yang telah beredar pada ketika itu adalah
  1. Drama (Dirham), mata uang emas dari Pedir dan Samudera Pasai; 
  2. Tanga, mata uang perak dari Pedir; 
  3. Ceiti, mata uang timah dari Pedir; 
  4. Cash (Caxa), mata uang emas di Banten; 
  5. Picis, mata uang kecil di Cirebon; 
  6. Dinara, mata uang emas dari Gowa-Tallo; 
  7. Kupa, mata uang emas kecil dari Gowa-Tallo; 
  8. Benggolo, mata uang timah dari Gowa-Tallo; 
  9. Tumdaya, mata uang emas di Pulau Jawa; 
  10. Mass, mata uang emas di Aceh Darussalam. 
Sedangkan mata uang ajaib yang telah dipakai dalam kegiatan perdagangan di Nusantara antara lain Real (Arab); Yuan dan Cash (Cina).

Kemunduran perdagangan dan kerajaan yang berada di tempat tepi pantai disebabkan lantaran kemenangan militer dan ekonomi Belanda, dan munculnya kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman yang tidak menaruh perhatian pada perdagangan.

Mengapa para pedagang waktu itu menentukan jalur perairan atau laut? Hal ini disebabkan lantaran Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh lautan. Pada masa itu jalur bahari lebih cepat ditempuh daripada jalur darat. Nenek moyang kita telah mempunyai keterampilan berlayar yang di pelajari secara turun temurun. Sejak dulu mereka sudah mengenal teknologi arah angin dan trend untuk menentukan perjalanan, pelayaran dan perdagangan.

Kerajaan Islam Di Aceh

Salah satu pola sentra pemerintahan yang masih digunakan hingga dengan ketika ini yaitu Keraton Yogyakarta. Keraton pada perkembangannya mempunyai peranan dan posisi yang sangat penting. Selain berfungsi sebagai simbol perkembangan pemerintahan Islam, keraton juga menjadi lambang usaha kemerdekaan. Di keraton para raja atau tokoh-tokohnya mengibarkan panji-panji perlawanan terhadap penjajahan. Islam yang masuk ke istana memang telah menyemai bibit-bibit kemerdekaan dan persamaan. Beberapa sentra kekuasaan Islam yang berada di aneka macam daerah, menyerupai di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan bahkan di Indonesia pecahan timur, menyerupai Maluku dan Papua.

Pulau Sumatra termasuk tempat pertama dan terpenting dalam pengembangan agama Islam di Indonesia. Hal ini disebabkan lantaran letak Pulau Sumatra yang strategis dan berhadapan pribadi dengan Selat Malaka yang menjadi jalur perdagangan internasional pada masa itu. Berdasarkan catatan Tomé Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) dikatakan bahwa di Sumatra terdapat banyak kerajaan Islam diantaranya yaitu Aceh, Biar dan Lambri, Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, dan Barus. Berikut ini beberapa kerajaan islam yang ada di Pulau Sumatera.
 Salah satu pola sentra pemerintahan yang masih digunakan hingga dengan ketika ini yaitu K Kerajaan Islam di Aceh

Aceh yang populer dengan sebutan, “Kota Serambi Mekkah” merupakan tempat di mana berkembangnya agama Islam pertama di Indonesia. Diperlihatkan dari letak geografisnya, dimana Aceh sendiri terletak di ujung barat Pulau Sumatera dan erat dengan Selat Malaka yang ketika itu menjadi pintu sentra kemudian lalangnya kapal-kapal saudagar antara belahan bumi Barat dan Timur sanggup diperhitungkan semenjak awal kala ke 1.

Kerajaan Islam Jeumpa
Kerajaan Jeumpa Aceh, menurut Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, Jeumpa yaitu sebuah Kerajaan yang berada di sekitar tempat perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat hingga Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, kini disebut “Cot Cibrek Pintoe Ubeuet”.

Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ) yang berjulukan Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Sunbulat Seuludong dan mempunyai beberapa anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi.

Di bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa berkembang pesat menjadi sebuah kota gres yang mempunyai hubungan luas dengan Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu sentra pemerintahan dan perdagangan yang kuat di sekitar pesisir utara pulau Sumatra. Pangeran Salman telah mengangkat anak-anaknya menjadi Meurah-Meurah gres dan menjadi pemimpin di aneka macam wilayah.

Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai sentra pertumbuhan perdagangan dan kota pelabuhan yang baru, tugas Kerajaan Islam Jeumpa menjadi kurang menonjol. namun demikian, kerajaan ini tetap eksis, yang mungkin berubah fungsi sebagai sebuah kota pendidikan bagi kader-kader ulama dan pendakwah Islam, lantaran diketahui bahwa Puteri Jeumpa yang menjadi ibunda Raden Fatah yaitu keponakan dari Sunan Ampel.

Kerajaan Islam Peureulak
Kesultanan Peureulak yaitu kerajaan Islam di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh kini antara tahun 840 hingga dengan tahun 1292. Perlak atau Peureulak populer sebagai suatu tempat penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat manis untuk pembuatan kapal, dan alhasil tempat ini dikenal dengan nama Negeri Perlak.

Sultan pertama Perlak yaitu Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah, yang beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan wanita setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.

Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abbas Syah, aliran Sunni mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan, kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Ali Mughat Syah dari aliran Syiah naik tahta.

Pada tahun 362 H (956 M), sesudah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian:
  • Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988)
  • Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)

Sultan Alaiddin Syed Maulana Syah meninggal sewaktu Kerajaan Sriwijaya menyerang Perlak dan seluruh Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan yang melanjutkan usaha melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.

Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (memerintah 1230 – 1267) menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:
  1. Putri Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara).
  2. Putri Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.

Sultan terakhir Perlak yaitu sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan (memerintah 1267 – 1292). Setelah ia meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al Malik Al-Saleh.

Kerajaan Islam Lamuri
Kerajaan ini terletak di tempat kabupaten Aceh Besar. Nama "Lamuri" masih terbaca dalam nama gampong (desa) Lamreh. Kerajaan ini yaitu kerajaan yang lebih dahulu muncul sebelum berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam, dan merupakan cikal bakal kesultanan tersebut. Di Lamreh terdapat makam Sultan Sulaiman bin Abdullah (wafat 1211), penguasa pertama di Indonesia yang diketahui menyandang gelar "Sultan". Penemuan arkeologis pada tahun 2007 mengungkapkan adanya nisan Islam tertua di Asia Tenggara yaitu pada tahun 398 H/1071 M.

Baik naskah dan dongeng setempat maupun sumber abnormal menyebut nama kerajaan yang mendahului Aceh : "Lamuri", "Ramni", "Lambri", "Lan-li", "Lan-wu-li". Penulis Tionghoa Zhao Rugua (1225) contohnya menyampaikan bahwa "Lan-wu-li" setiap tahun mengirim upeti ke "San-fo-chi" (Sriwijaya). Nagarakertagama (1365) menyebut "Lamuri" di antara tempat yang oleh Majapahit diaku sebagai bawahannya. Dalam Suma Oriental-nya, penulis Portugis Tomé Pires mencatat bahwa Lamuri tunduk kepada raja Aceh.

Samudra Pasai
Aceh yaitu tempat yang pertama kali mendapatkan anutan agama Islam, bahkan di Aceh kerjaan Islam pertama di Indonesia berdiri yakni Kerajaan Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 dan 1275. Kerajaan ini sultan pertamanya berjulukan Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M). Sultan Malik as-Shaleh sebelumnya hanya seorang kepala Gampong Samudra berjulukan Marah Silu yang berganti nama dengan Malik as-Shaleh sesudah memeluk agama Islam.

Nama-nama sultan yang disebut dalam Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat dalam mata uang emas yang disebut dengan dirham, kecuali Malika-al-Saleh. Berikut ini merupakan urutan para raja-raja yang memerintah di Kesultanan Samudra Pasai:
  1. Sultan Malik as-Shaleh (696 H/1297 M);
  2. Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326);
  3. Sultan Mahmud Malik Zahir (± 1346-1383);
  4. Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405);
  5. Sultanah Nahrisyah (1405-1412);
  6. Abu Zain Malik Zahir (1412);
  7. Mahmud Malik Zahir (1513-1524).
Pada masa pemerintahan Sultan Malik as-Shaleh, Kerajaan Pasai mempunyai hubungan dengan negara Cina menyerupai yang disebutkan dalam sumber sejarah Dinasti Yuan. Pada tahun 1282 duta Cina bertemu dengan Menteri Kerajaan Sumudra di Quilan yang meminta semoga raja Sumatra mengirimkan dutanya ke Cina. Pada tahun itu pula disebutkan bahwa kerajaan Sumatra mengirimkan dutanya yang berjulukan Sulaiman dan Syamsuddin.

Menurut Tome Pires, Kesultanan Samudera Pasai mencapai puncaknya pada awal kala ke-16. Para pedagang yang pernah berkunjung ke Samudera Pasai berasal dari Rumi, Turki, Arab, Persia (Iran), Gujarat, Keling, Bengal, Melayu, Jawa, Siam, Kedah, dan Pegu. Barang komoditas yang diperdagangkan Samudera Pasai yaitu lada, sutera, dan kapur barus. Kesultanan Samudera Pasai telah memakai mata uang menyerupai uang kecil yang disebut dengan ceitis. Uang kecil itu ada yang terbuat dari emas dan ada pula yang terbuat dari dramas.

Agama dan Budaya Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Samudera Pasai. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai menyerupai dengan Malaka, menyerupai bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Selain itu, Ibnu Batuta menjelaskan bahwa Kesultanan Samudera Pasai juga dikunjungi oleh para ulama dari Persia, Suriah (Syria), dan Isfahan. Dalam catatan Ibnu Batuta disebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai sangat taat terhadap agama Islam yang bermazhab Syafi’i. Sultan selalu dikelilingi oleh para hebat teologi Islam.

Sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara, Samudera Pasai juga mempunyai tugas yang besar dalam pengembangan dan penyebaran agama Islam di tanah air. Malaka menjadi kerajaan yang bercorak Islam lantaran amat erat hubungannya dengan Kerajaan Samudera Pasai. Hubungan  dipererat dengan ijab kabul antara putra-putri sultan dari Pasai dan Malaka sehingga pada awal abad- 15 atau sekitar 1414 M tumbuhlah Kerajaan Islam Malaka, yang dimulai dengan pemerintahan Parameswara.

Sejak Portugis menguasai Malaka pada 1511, Samudera Pasai mulai dikuasai semenjak 1521. Kemudian Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah lebih berhasil menguasai Samudera Pasai. 

Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang beribu kota Bandar Aceh dengan sultan pertamanya yaitu Sultan Ali Mughayat Syah. Pada 1520 Aceh memasukkan Kerajaan Daya dan menakhlukan Pedir dan Samudera Pasai tahun 1524. Kesultanan Aceh Darussalam menyerang kapal Portugis di Bandar Aceh. Pada 1529 . Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada 1530 dan dimakamkan di Kandang XII, Banda Aceh.

Di antara penggantinya yang populer yaitu Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1538-1571). Usaha-usahanya yaitu menyebarkan kekuatan angkatan perang, perdagangan, dan mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam di Timur Tengah, menyerupai Turki, Abessinia (Ethiopia), dan Mesir. Sultan Alauddin Riayat Syah at-Qahhar menyerang dan menaklukkan banyak kerajaan, menyerupai Batak, Aru, dan Barus.

Kemajuan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mengundang perhatian para hebat sejarah. Di bidang politik Sultan Iskandar Muda telah menundukkan
daerah-daerah di sepanjang pesisir timur dan barat. Demikian pula Johor di Semenanjung Malaya telah diserang, dan kemudian rnengakui kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.

Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya kudeta di antara pewaris tahta kesultanan.

Kerajaan Islam Trumon
Kerajaan ini merupakan pecahan dari kerajaan Batak yang diakuisisi oleh Kesultanan Aceh sesudah rajanya masuk Islam. Bendera Kerajaan Trumon merupakan cikal-bakal bendera yang digunakan oleh Sisingamangaraja XII. kerajaan Batak Sisingamangaraja XII disinyalir masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Kerajaan di Singkil khususnya Kerajaan Trumon ini. Karena sebelum diakuisisi oleh Aceh, Kerajaan Trumon merupakan provinsi dari Kesultanan Barus.

Kesultanan Barus di Kawasan Fansur, bukan yang Hulu, didirikan oleh Keturunan Raja Uti dimana Raja Uti diyakini masih merupakan "paman adat" Dinasti Sisingamangaraja di Bakkara. Sekarang ini masih terdapat bangunan benteng di Trumon sebagai bukti sejarah kerajaan ini.

Bangunan benteng Kuta Batee dibangun ketika Kerajaan Trumon dipimpin atau di bawah pemerintahan Teuku Raja Fansuri Alamsyah yang juga dikenal dengan sebutan Teuku Raja Batak. Dalam masa ini pula, Trumon meraih kejayaannya hingga berhasil mencetak mata uang sendiri sebagai alat tukar yang sah. Teuku Raja Batak ini merupakan raja ketiga, menggantikan ayahnya berjulukan Teuku Raja Bujang yang sebelumnya mendapatkan tahta dari kakeknya (ayah Raja Bujang) yaitu Teuku Djakfar selaku pendiri Kerajaan Trumon dan Kerajaan Singkil.

Kerajaan Trumon didirikan oleh seorang saudagar sekaligus pemuka agama (labai) berasal dari XXV Mukim Aceh Besar dalam kala ke-18. Ia tidak lain yaitu Labai Daffa (Labai Dafna-sebutan Belanda) yang nama aslinya yaitu Teuku Djakfar. Raja ini sebelum mendirikan Kerajaan Trumon dan Singkil, sempat mencar ilmu agama Islam di Ujung Serangga, Kecamatan Susoh, Aceh Barat Daya sehingga meraih gelar labai atau teungku, panggilan ulama dalam masyarakat Aceh.

Kerajaan-Kerajaan Islam Di Riau

Pengaruh Islam yang hingga ke daerah-daerah merupakan tanggapan perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Malaka. Kerajaan Islam yang ada di Riau dan Kepulauan Riau berdasarkan informasi Tome Pires (1512-1515 ) antara lain Siak, Kampar, dan Indragiri. Kerajaan Kampar, Indragiri, dan Siak pada masa ke-13 dan ke-14 dalam kekuasaan Kerajaan Melayu dan Singasari-Majapahit, maka kerajaan-kerajaan tersebut tumbuh menjadi kerajaan bercorak Islam semenjak masa ke-15.

Jika kita dasarkan informasi Tome Pires, maka ketiga Kerajaan Kampar, Indragiri dan Siak senantiasa melaksanakan perdagangan dengan Malaka bahkan memperlihatkan upeti kepada Kerajaan Malaka. Ketiga kerajaan di pesisir Sumatra Timur ini dikuasai Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (wafat 1477). Bahkan pada masa pemerintahan putranya, Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah (wafat 1488) banyak pulau di Selat Malaka (orang laut) termasuk Lingga-Riau, masuk kekuasaan Kerajaan Malaka.

Kerajaan Siak
Kerajaan Siak merupakan kerajaan melayu Islam yang terletak di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Kerajaan ini tumbuh menjadi kerajaan bercorak islam pada masa ke 15. Menurut Berita Tome Pires, Kerajaan Siak menghasilkan padi, madu, timah, dan emas. Pada awalnya, kerajaan Siak merupakan kerajaan bawahan Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah. Kerajaan Siak menghasilan padi, madu, lilin, rotan, bahan-bahan apotek, dan banyak emas.
Raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Siak Sri Indrapura antara lain sebagai berikut:
  1. Raja Abdullah (Sultan Khoja Ahmad Syah). Saat itu Kerajaan Siak masih berada di bawah kekuasaan Malaka.Raja Abdullah yaitu raja yang ditunjuk oleh Sultan Johor untuk memimpin dan memerintah Kerajaan Siak.
  2. Raja Hasan Putra Ali Jalla Abdul Jalil. Pada masa pemerintahannya, Belanda berhasil menguasai Malaka.Dengan demikian, Kerajaan Siak terikat politik ekonomi perdagangan VOC. Semua timah yang dihasilkan Siak harus dijual ke VOC.
  3. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1748). Beliau akran juga disebut Raja Kecik.Raja Kecik yaitu anak dari Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II dengan Encik Pong. Beliaulah yang mendirikan Kerajaan Siak yang berdaulat, bukan di bawah kekuasaan Malaka lagi. Ia meluaskan daerah kekuasaannya sambil terus memerangi VOC.
  4. Sultan Said Ali (1784-1811). Pada masa pemerintahannya, Ia berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah yang memisahkan diri. Pada tahun 1811, ia mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya, Tengku Ibrahim.
  5. Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864). Pada masa pemerintahannya, Siak mengalami kemunduran dan semakin banyak dipengaruhi politik penjajahan Hindia- Belanda.
  6. Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889-1908). Pada masa pemerintahannya, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Setelah wafat, ia digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia, yaitu Sultan Syarif Kasim II.
  7. Syarif Kasim Tsani atau Sultan Syarif Kasim II (1915-1945). Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, ia pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia.

Kerajaan Siak Sri Indrapura sangat kaya dengan hasil alam yang melimpah. Sayangnya pada awal mula munculnya, kerajaan ini dikuasai oleh Kerajaan Malaka. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk oleh Raja Johor untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut. Pada tahun 1641, Belanda berhasil menguasai Malaka. Dengan demikian, Kerajaan Siak terikat politik ekonomi perdagangan VOC. Semua timah yang dihasilkan Siak harus dijual ke VOC. Namun pada masa pemerintahan Raja Kecik, rakyat Siak hidup makmur alasannya yaitu tidak harus menyerahkan hasil alamnya kepada Malaka maupun VOC. Bahkan pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Sultan Syarif Hasyim mulai menjalin hubungan dengan luar negri.

Siak Sri Inderapura hingga kini tetap diabadikan sebagai nama ibu kota dari Kabupaten Siak, dan Balai Kerapatan Tinggi yang dibangun tahun 1886 serta Istana Siak Sri Inderapura yang dibangun pada tahun 1889, masih tegak berdiri sebagai simbol kejayaan masa silam, termasuk Tari Zapin Melayu dan Tari Olang-olang yang pernah menerima kehormatan menjadi pertunjukan utama untuk ditampilkan pada setiap perayaan di Kesultanan Siak Sri Inderapura. Begitu juga nama Siak masih menempel merujuk kepada nama sebuah sungai di Provinsi Riau sekarang, yaitu Sungai Siak yang bermuara pada daerah timur pulau Sumatera.

Kerajaan Indragiri
Kerajaan Indragiri terletak di Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Kerajaan Indragiri berdiri semenjak tahun 1298, kerajaan ini didirikan oleh Raja Kecik Mambang atau Raja Merlang. Kerajaan ini tumbuh menjadi kerajaan bercorak islam pada masa ke 15. Menurut Berita Tome Pires, Kerajaan Siak menghasilkan padi, madu, timah, dan emas. Pada awalnya, kerajaan Siak merupakan kerajaan bawahan Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah. Beberapa raja yang pernah memerintah Indragiri yaitu sebagai berikut.
  1. 1298-1337: Raja Kecik Mambang alias Raja Merlang I.
  2. 1337-1400: Raja Iskandar alias Nara Singa I.
  3. 1400-1473: Raja Merlang II bergelar Sultan Jamalluddin Inayatsya.
  4. 1473-1532: Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan NaraSinga II bergelar Zirullah Fil Alam.
  5. 1532-1557: Sultan Usulluddin Hasansyah.
  6. 1557-1599: Raja Ahmad bergelar Sultan Mohamadsyah.
  7. 1559-1658: Raja Jamalluddin bergelar Sultan Jammalludin Keramatsyah.
  8. 1658-1669: Sultan Jamalluddin Suleimansyah.
  9. 1669-1676: Sultan Jamalluddin Mudoyatsyah.
  10. 1676-1687: Sultan Usulluddin Ahmadsyah.
  11. 1687-1700: Sultan Abdul Jalilsyah.
  12. 1700-1704: Sultan Mansyursyah.
  13. 1704-1707: Sultan Modamadsyah.
  14. 1707-1715: Sultan Musafarsyah.
  15. 1715-1735: Raja Ali bergelar Sultan Zainal Abidin
  16. 1735-1765: Raja Hasan bergelar Sultan Salehuddin Keramatsyah.
  17. 1765-1784: Raja Kecik Besar bergelar Sultan Sunan.
  18. 1784-1815: Sultan Ibrahim.
  19. 1815-1827: Raja Mun bergelar Sultan Mun Bungsu.
  20. 1827-1838: Raja Umar bergelar Sultan Berjanggut Keramat Gangsal.
  21. 1838-1876: Raja Said bergelar Sultan Said Modoyatsyah.
  22. 1876: Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah.
  23. 1877-1883: Tengku Husin alias Tengku Bujang bergelar Sultan Husinsyah.
  24. 1887-1902: Tengku Isa bergelar Sultan Isa Mudoyatsyah.
  25. 1902-1912: Raja Uwok. Sebagai Raja Muda Indragiri.
  26. 1912-1963: Tengku Mahmud bergelar Sultan Mahmudsyah.

Kerajaan Kampar
Kesultanan Pelalawan atau Kerajaan Pelalawan (1725 M-1946 M) yang kini terletak di Kabupaten Pelalawan, Riau. Periode pemerintahan di Pelalawan dibagi menjadi dua: periode pra Islam dan pasca Islam. Pada era pra Islam, kerajaan ini masih berjulukan Pekantua. Sementara pada era Islam, ada tiga kali pergantian nama, dari Pekantua Kampar, kemudianTanjung Negeri, dan terakhir Pelalawan. Kerajaan ini eksis dari tahun 1380 hingga 1946.

Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansur Syah (1459-1477 M) menyerang Kerajaan Pekantua, dan kerajaan Pekantua sanggup dikalahkan. Kemudian Sultan mengangkat Munawar Syah sebagai Raja Pekantua. Pada upacara penebalan, diumumkan bahwa kerajaan Pekantua bermetamorfosis "kerajaan Pekantuan Kampar"

Ketika kerajaaan Johor dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Syah II, Raja Kampar), Tun Megat di Kerajaan Pekantua Kampar meminta salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II kembali ke Pekantua Kampar untuk menjadi raja. Sekitar tahun 1590 M, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar dengan gelar "Maharaja Dinda" (1590-1630 M). selanjutnya ia memindahkan sentra kerajaan Pekantua Kampar dari Pekantua ke Bandar Tolam.

Setelah mangkat, Maharaja Dinda digantikan oleh puteranya Maharaja Lela I, yang bergelar Maharaja Lela Utama (1630-1650 M). Tak usang kemudian ia pun mangkat, dan digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 M), selanjutnya digantikan puteranya Maharaja Lela Utama (1675-1686 M). Pada masa pemerintahan Maharaja Lela Utama, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Sungai Nilo. Kerajaan ini dinamakan Kerajaan Tanjung Negeri. Setelah ia mangkat digantikan Maharaja Wangsa Jaya.

Ketika Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691 M) mangkat digantiakn oleh puteranya Maharaja Muda Lela (1691-1720 M), yang kemudian digantikan oleh puteranya Maharaja Dinda II (1720-1750 M). Pada masa maharaja Dinda II sekitar tahun 1725 M terjadi pemidahan sentra kerajaan Pekantua Kampar ke Sungai Rasau, salah satu anak sungai Kampar,dan nama kerajaan "Pekantua Kampar" diganti menjadi kerajaan "Pelalawan". sesudah ia mangkat, digantikan puteranya Maharaja Lela Bungsu (1750-1775 M), yang berhasil menciptakan hubungan dagang dengan daerah sekitarnya.

Kemudian kerajaan tersebut tunduk kepada Kerajaan Siak, dan pada 4 Februari 1879 dengan terjadinya perjanjian pengakuannya Kampar berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan Indragiri sebelum 1641 yang berada di bawah Kemaharajaan Malayu berafiliasi dekat dengan Portugis, tetapi sesudah Malaka diduduki VOC, mulailah berafiliasi dengan VOC yang mendirikan kantor dagangnya di Indragiri berdasarkan perjanjian 28 Oktober 1664.

Berikut ini urutan penguasa di Pelalawan, semenjak era Islam:
Kerajaan Pekantua Kampar (1505-1675)
  1. Munawar Syah (1505-1511)
  2. Raja Abdullah (1511-1515)
  3. Sultan Mahmud Syah I (1526-1528 )
  4. Raja Ali/Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530)
  5. Tun Perkasa/ Raja Muda Tun Perkasa (1530-1551)
  6. Tun Hitam (1551-1575)
  7. Tun Megat (1575-1590)
  8. Raja Abdurrahman/Maharaja Dinda (1590-1630)
  9. Maharaja Lela I/Maharaja Lela Utama (1630-1650)
  10. Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 ).

Kerajaan Tanjung Negeri (1675-1725)
  1. Maharaja Lela Utama (1675-1686)
  2. Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691)
  3. Maharaja Muda Lela (1691-1720)
  4. Maharaja Dinda II (1720-1725).

Kerajaan Pelalawan (1725-1946)
  1. Maharaja Dinda II/Maharaja Dinda Perkasa/Maharaja Lela Dipati (1725-1750)
  2. Maharaja Lela Bungsu (1750-1775)
  3. Maharaja Lela II (1775-1798)
  4. Sayid Abdurrahman/Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822)
  5. Syarif Hasyim (1822-1828)
  6. Syarif Ismail (1828-1844)
  7. Syarif Hamid (1844-1866)
  8. Syarif Jafar (1866-1872)
  9. Syarif Abubakar (1872-1886)
  10. Tengku Sontol Said Ali (1886-1892 )
  11. Syarif Hasyim II (1892-1930)
  12. Tengku Sayid Osman/Pemangku Sultan (1930-1940)
  13. Syarif Harun/Tengku Sayid Harun (1940-1946).

Pada masa Pemerintahan Sultan Syarif Harun (1940-1946), yaitu masa pemerintahan yang paling sulit di Kerajaan Pelalawan. Demi menjaga kemakmuran rakyat Pelalawan, pada tahun 1946 Sultan Syarif Harun mendarma baktikan Pelalawan kepada Pemerintah Indonesia.

Kerajaan Islam Di Sumatra Selatan Dan Barat

Sejak Kerajaan Sriwijaya mengalami kelemahan bahkan runtuh sekitar era ke-14, mulailah proses Islamisasi sehingga pada selesai era ke-15 muncul komunitas Muslim di Palembang. Palembang pada selesai era ke-16 sudah merupakan daerah kantong Islam terpenting atau bahkan sentra Islam di serpihan selatan “Pulau Emas”. Bukan saja sebab reputasinya sebagai sentra perdagangan yang banyak dikunjungi pedagang Arab/Islam pada abad-abad kejayaan Sriwijaya, tetapi juga dibantu oleh kebesaran Malaka yang tak pernah melepaskan keterlibatannya dengan Palembang sebagai tanah asalnya.

Palembang sekitar awal era ke-16 sudah ada di bawah efek kekuasaan Kerajaan Demak masa pemerintahan Pate Rodim ibarat diberitakan Tome Pires (1512-1515). Mereka berdagang dengan Malaka dan Pahang. Komoditi yang diperdagangkan yakni beras dan materi makanan, katun, rotan, lilin, madu, anggur, emas, besi, kapur barus, dan lain-lainnya.

Meskipun kedudukan Palembang sebagai sentra penguasa Muslim sudah ada semenjak 1550, namun nama tokoh yang tercatat menjadi sultan pertama Kesultanan Palembang ialah Susuhunan Sultan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayyid al-Iman/Pangeran Kusumo Abdurrahman/ Kiai Mas Endi semenjak 1659 hingga 1706. Palembang berturut-turut diperintah oleh 11 sultan semenjak 1706 dan sultan yang terakhir, Pangeran Kromojoyo/Raden Abdul Azim Purbolinggo (1823-1825).

Kontak pertama Kesultanan Palembang dengan VOC terjadi pada 1610. Pada 4 November 1659 terjadi peperangan antara Kesultanan Palembang dengan VOC di bawah pimpinan Laksamana Joan van der Laen. Pada perang ini Keraton Kesultanan Palembang dibakar. Kota Palembang sanggup direbut lagi oleh pasukan Palembang dan kemudian dilakukan pembangunan-pembangunan, kecuali Masjid Agung yang hingga sekarang masih sanggup disaksikan meskipun sudah ada beberapa perubahan. Masjid agung mulai dibangun 28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei 1748 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758).

Pada masa pemerintahan putranya yaitu Sultan Ahmad Najmuddin (1758-1774) syiar agama Islam makin pesat. Pada waktu itu, berkembanglah hasil-hasil sastra keagamaan dari tokoh-tokoh, antara lain, Abdussamad al- Palimbani, Kemas Fakhruddin, Kemas Muhammad ibn Ahmad, Muhammad Muhyiddin ibn Syaikh Shibabuddin, Muhammad Ma’ruf ibn Abdullah, dan lainnya. Mengenai ulama populer Abdussamad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani (1704-1789), telah dibicarakan Azyumardi Azra dalam Historiografi Islam Kontemporer secara lengkap wacana riwayatnya, fatwa serta kitab-kitabnya dan guru-guru sufi serta tarekatnya. Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Palembang semenjak pemerintahan Sultan Mahmud Badar II menerima serangan dari pasukan Hindia Belanda pada Juli 1819 atau yang dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Muntinghe).

Serangan besar-besaran oleh pasukan Belanda pimpinan J.C. Wolterboek yang terjadi pada Oktober 1819 juga sanggup dipukul mundur oleh prajurit-prajurit Kesultanan Palembang. Tetapi pihak Belanda pada Juni 1821 mencoba lagi melaksanakan penyerangan dengan banyak armada di bawah pimpinan panglima Jenderal de Kock. Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap kemudian dibuang ke Ternate. Kesultanan Palembang semenjak 7 Oktober 1823 dihapuskan kekuasaan daerah Palembang berada eksklusif di bawah Pemerintah Hindia Belanda dengan penempatan Residen Jon Cornelis Reijnst yang tidak diterima. Sultan Ahmad Najaruddin Prabu Anom sebab memberontak kesannya ditangkap kemudian diasingkan ke Banda, dan seterusnya dipindahkan ke Menado.

Kerajaan Islam di Sumatra Barat
Awal masuk dan berkembangnya Islam di daerah Sumatera Barat masih sukar dipastikan. Berita dari Cina dari dinasti T’ang menyebutkan bahwa pada sekitar era ke-7 M (674 M) ada kelompok orang Arab (Ta-shih) dan yang oleh W.P. Goeneveldt perkampungan mereka ada di pesisir barat Sumatera. Selain pendapat tersebut, ada juga yang beropini bahwa Islam tiba dan berkembang di daerah Sumatera Barat gres sekitar selesai era ke-14 M atau era ke-15 M dan Islam sudah memperoleh pengaruhnya di kerajaan besar Minangkabau.

Bahwa Islam sudah masuk ke daerah Minangkabau pada sekitar selesai era ke-15 mungkin sanggup dihubungkan dengan dongeng yang terdapat dalam naskah kuno dari Kerinci wacana Siak Lengih Malin Sabiyatullah asal Minangkabau yang mengenalkan Islam di daerah Kerinci, semasa dengan Putri Unduk Pinang Masak, Dayang Baranai, Parpatih Nan Sabatang yang kesemuanya berada di daerah Kerinci. 

Tome Pires (1512-1515) juga mencatat keberadaan tempat-tempat ibarat Pariaman, Tiku, bahkan Barus. Dari ketiga tempat ini diperoleh barang-barang perdagangan, ibarat emas, sutra, damar, lilin, madu kamper, kapur barus, dan lainnya. Setiap tahun ketiga tempat tersebut juga didatangi dua atau tiga kapal dari Gujarat yang membawa barang dagangannya antara lain pakaian.

Sejak awal era ke-19 timbul pembaruan Islam di daerah Sumatra Barat yang membawa efek Wahabiyah dan kemudian memunculkan “Perang Padri “, Perang Padri yakni peperangan yang berlangsung di daerah Kerajaan Pagaruyung. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akhir kontradiksi dalam duduk perkara agama.

Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum tepat dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik kemudian ikut mendukung impian ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.

Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan fatwa agama Islam. Dalam beberapa negosiasi tidak ada kata setuju antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menjadikan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. 

Perjuangan kaum Padri itu makin kuat, tetapi pihak kaum Adat dibantu Belanda untuk laba politik dan ekonominya. Hal ini menciptakan kaum Padri melawan dua kelompok sekaligus yaitu kaum Adat dan kaum penjajah Belanda termasuk perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda. Pada awal era ke-19, Belanda dengan adanya celah kontradiksi antara kaum moral dengan kaum ulama dalam Perang Padri, menggunakan kesempatan demi laba politik dan ekonominya. 

Tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran. Perlawanan Padri diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin Padri terutama Tuanku Imam Bonjol dalam pertempuran Benteng Bonjol, pada 25 Oktober 1837. Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda pada selesai 1838 berhasil mengukuhkan kekuasaan politik dan ekonominya di daerah Minangkabau atau di Sumatra Barat. Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, dan pada 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, serta pada 1841 dipindahkan ke Menado kemudian ia wafat di tempat itu pada 6 November 1864.

Kerajaan Islam Di Jawa

Sebelum Islam masuk ke pulau Jawa, masyarakat di tanah Jawa sudah menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Selain itu, masyarakat Jawa juga sudah dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha. Seiring waktu berjalan tidak usang kemudian Islam mulai masuk ke Jawa melewati Gujarat dan Persi dan ada yang beropini pribadi dibawa oleh orang Arab, terutama pedagang dari timur tengah. Islam masuk ke Jawa melalui pesisir utara Pulau Jawa. Bukti sejarah perihal awal mula kedatangan Islam di Jawa antara lain ialah ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat tahun 475 H atau 1082 M di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah ialah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia.

Selain itu, di daerah Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Di Mojokerto juga ditemukan ratusan makam Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit. Saluran-saluran Islamisasi yang berkembang ada enam yaitu: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.  Berdasarkan informasi ini, tentu kita sanggup mengambil kesimpulan bahwa Islam itu sudah usang masuk ke Pulau Jawa, jauh sebelum bangsa Barat tiba di pulau ini. Berikut ini sekelumit kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa.

a. Kerajaan Demak
Demak diperkirakan berdiri tahun 1500 sehabis keruntuhan Majapahit sekitar tahun 1478. Raja pertama Kerajaan Demak ialah Raden Fatah, yang bergelar Sultan Alam Akbar Al-Fatah. Raden Fatah memerintah Demak dari tahun 1500-1518. Raden Fatah merupakan keturunan raja terakhir dari Kerajaan Majapahit, yaitu Raja Brawijaya V.  Kerajaan Demak disebut juga sebagai sebuah kerajaan yang agraris-maritim. Barang dagangan yang diekspor Kerajaan Demak antara lain beras, lilin dan madu. Barang-barang itu diekspor ke Malaka, Maluku dan Samudra Pasai.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Demak di bawah Raden Patah, mencakup Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan. Kemajuan Demak dipengaruhi jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, para pedagang yang anti Portugis di Malaka beralih haluan menuju pelabuhan-pelabuhan Demak menyerupai Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan dan Gresik. 
 masyarakat di tanah Jawa sudah menganut kepercayaan animisme dan dinamisme Kerajaan Islam di Jawa
Demak juga tumbuh menjadi sentra penyebaran agama Islam. Para wali yang merupakan tokoh penting pada perkembangan Kerajaan Demak ini, memanfaatkan posisinya untuk lebih membuatkan Islam kepada penduduk Jawa. Para wali juga berusaha membuatkan Islam di luar Pulau Jawa. Penyebaran agama Islam di Maluku dilakukan oleh Sunan Giri sedangkan di daerah Kalimantan Timur dilakukan oleh seorang penghulu dari Kerajaan Demak yang berjulukan Tunggang Parangan. Setelah Kerajaan Demak lemah maka muncul Kerajaan Pajang.

b. Kerajaan Mataram
Setelah Kerajaan Demak berakhir, berkembanglah Kerajaan Pajang di bawah Sultan Hadiwijaya. Tokoh yang membantunya di antaranya ialah Ki Ageng Pemanahan yang diangkat sebagai bupati di Mataram. Putra Ki Ageng, Raden Bagus (Danang) Sutawijaya diangkat anak oleh Sultan Hadiwijaya dan dibesarkan di istana. Sutawijaya dipersaudarakan dengan putra mahkota, berjulukan Pangeran Benowo.

Pada tahun 1582, Sultan Hadiwijaya digantikan oleh Pangeran Benowo merupakan raja yang lemah. Sutawijaya yang menggantikan Ki Gede Pemanahan justru semakin menguatkan kekuasaannya sehingga karenanya Istana Pajang pun jatuh ke tangannya. Sutawijaya segera memindahkan pusaka Kerajaan Pajang ke Mataram. Sutawijaya sebagai raja pertama dengan gelar: Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Pusat kerajaan ada di Kota Gede, sebelah. Panembahan Senapati digantikan oleh putranya yang berjulukan Mas Jolang (1601-1613). Mas Jolang kemudian digantikan oleh putranya berjulukan Mas Rangsang atau lebih dikenal dengan nama Sultan Agung (1613-1645). Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah Mataram mencapai zaman keemasan.

Sultan Agung berhasil memperluas wilayah Mataram seperti, Surabaya (1615), Lasem, Pasuruhan (1617), dan Tuban (1620). Sultan Agung juga ingin mengusir VOC dari Kepulauan Indonesia. Kemudian diadakan dua kali serangan tentara Mataram ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629.

Dalam prakteknya, Sultan Agung memadukan unsur-unsur budaya Islam dengan budaya Hindu-Jawa. Seperti perayaan sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw, dengan membunyikan gamelan Kyai Nagawilaga dan Kyai Guntur Madu. Kemudian juga diadakan upacara grebeg, yaitu setiap tanggal 10 Dzulliijah (Idul Adha), 1 Syawal (Idul Fitri), dan tanggal 12 Rabiulawal (Maulid Nabi). Upacara grebeg merupakan sedekah sebagai rasa syukur dari raja kepada Tuhan Yang Maha Esa dan juga sebagai pembuktian kesetiaan para bupati dan punggawa kerajaan kepada rajanya.

Sultan Agung wafat pada 1645 dan digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I ialah seorang raja yang lemah apalagi adanya efek VOC yang semakin kuat. Kerajaan Mataram karenanya dibagi dua berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755). Sebelah barat menjadi Kesultanan Yogyakarta dan sebelah timur menjadi Kasunanan Surakarta.

c. Kesultanan Banten
Kerajaan Banten berawal sekitar tahun 1526, saat Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah pesisir barat Pulau Jawa. Maulana Hasanuddin atau Fatahillah, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi sentra pemerintahan, yakni Kesultanan Banten.

Kedatangan pasukan kerajaan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke daerah tersebut selain untuk ekspansi wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Atas perintah Sultan Trenggono, Fatahillah melaksanakan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Sunda Kelapa sekitar tahun 1527 dan melanjutkan ekspansi kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di daerah tersebut, selain itu ia juga telah melaksanakan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Indrapura).

Setelah meninggalnya Sultan Trenggono, Banten melepaskan dari Demak pada 1570. Setelah Fatahillah wafat Ia digantikan Pangeran Yusuf. Tahun 1579, daerah-daerah yang masih setia pada Pajajaran ditaklukkan. Tahun 1580, Pangeran Yusuf meninggal dan digantikan oleh putranya, yang berjulukan Maulana Muhammad. Pada 1596, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke Palembang. Kerajaan Palembang sanggup dikepung dan hampir saja sanggup ditaklukkan. Akan tetapi, Sultan Maulana Muhammad tiba-tiba terkena tembakan musuh dan meninggal sehingga ia dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing Palembang.

Gugurnya Maulana Muhammad menyebabkan banyak sekali perselisihan di istana. Pemerintahan dipegang oleh sang Mangkubumi. Mangkubumi berhasil disingkirkan oleh Pangeran Manggala. Pangeran Manggala berhasil mengendalikan kekuasaan di Banten. Baru sehabis Abumufakir remaja dan Pangeran Manggala meninggal tahun 1624, maka Banten secara penuh diperintah oleh Sultan Abumufakir Mahmud Abdul Kadir.

Pada tahun 1596 orang-orang Belanda tiba di pelabuhan Banten, orang-orang Belanda bersikap arogan dan sombong, bahkan mulai menyebabkan kekacauan di Banten. Orang-orang Banten menolak dan mengusir orang-orang Belanda Dua tahun kemudian, orang-orang Belanda tiba lagi. Mereka mengatakan perilaku yang baik, sehingga sanggup berdagang di Banten dan di Jayakarta. Menginjak era ke-17

Setelah Sultan Abumufakir meninggal, ia digantikan putranya berjulukan Abumaali Achmad. Setelah Abumaali Achmad, tampillah sultan yang terkenal, yakni Sultan Abdulfattah atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah pada tahun 1651 - 1682. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten terus mengalami kemajuan. Dalam bidang kebudayaan, seni bangunan mengalami perkembangan. Beberapa jenis bangunan yang masih tersisa, antara lain, Masjid Agung Banten, bangunan keraton dan gapura-gapura.

Pada masa simpulan pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa timbul konflik di dalam istana. Sultan Ageng Tirtayasa yang berusaha menentang VOC, kurang disetujui oleh Sultan Haji sebagai raja muda. Keretakan di dalam istana ini dimanfaatkan VOC dengan politik devide et impera. VOC membantu Sultan Haji untuk mengakhiri kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa menciptakan semakin kuatnya kekuasaan VOC di Banten. Raja-raja yang berkuasa berikutnya, bukanlah raja-raja yang kuat. Hal ini membawa kemunduran Kerajaan Banten.

d. Kesultanan Cirebon
Menurut info Tome Pires sekitar 1513 diberitakan Cirebon sudah termasuk ke daerah Jawa di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Penguasa di Cirebon ialah Lebe Usa sebagai bawahan Pate Rodim. Cirebon terutama mengekspor beras dan banyak materi makanan lainnya. Perkiraan kehadiran Islam di kota Cirebon berdasarkan sumber lokal Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari karya Pangeran Arya Cerbon pada 1720 M, dikatakan bahwa Syarif Hidayatullah tiba ke Cirebon pada 1470 M, dan mengajarkan Islam di Gunung Sembung, gotong royong Haji Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabumi. Syarif Hidayatullah kawin dengan Pakungwati dan pada 1479 ia menggantikan mertuanya sebagai Penguasa Cirebon, kemudian mendirikan keraton yang diberi nama Pakungwati di sebelah timur Keraton Sultan Kasepuhan kini.

Syarif Hidayatullah populer juga dengan gelaran Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati, seorang dari walisongo dan juga ia menerima julukan Pandita-Ratu semenjak berfungsi sebagai wali penyebar Islam di Tatar Sunda dan sebagai kepala pemerintahan. Pangeran Cakrabumi alias Haji Abdullah Iman dan juga Syaikh Datuk Kahfi yang telah mempelopori pendirian pesantren sebagai tempat mengajar dan penyebaran agama Islam untuk daerah sekitarnya. Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati Islam makin diintensifkan dengan pendirian Masjid Agung Cipta Rasa di sisi barat alun-alun Keraton Pakungwati.

Sunan Gunung Jati wafat pada 1568, ia dimakamkan di Bukit Sembung atau yang dikenal dengan makam Gunung Jati. Penggantinya di Cirebon ialah buyutnya yang kelak dikenal sebagai Panembahan Ratu putra Pangeran Suwarga yang telah meninggal dunia pada 1565. Keberadaan Kesultanan Cirebon menjelang simpulan era ke-17 diwarnai dengan perjanjian-perjanjian VOC antara lain  perjanjian pada tanggal 7 Januari 1681. Lewat perjanjian tersebut Kesultanan Cirebon mulai dicampuri politik kolonial VOC. Sejak 1697, kekuasaan Keraton Kasepuhan dan Kanoman terbagi lagi atas Kacirebonan dan Kaprabonan. 

Meskipun pendapat beberapa jago agak berbeda namun sanggup dikatakan Kesultanan Cirebon merupakan sentra syiar keagamaan dengan penyebarannya berlangsung sebelum 168I. Tasawuf dan tarekat-tarekat keagamaan Islam menyerupai Kubrawiyah, Qadariyah, Syattariyah, dan kemudian Tijaniyah berkembang di Cirebon. Cirebon sebagai sentra keagamaan banyak menghasilkan naskah-naskah kuno menyerupai Babad Cerbon, Tarita Puwaka Tjaruban Nagari, Pepakem Cerbon, dan lainnya.