Friday, July 31, 2020

Kerajaan Islam Di Sumatra Selatan Dan Barat

Sejak Kerajaan Sriwijaya mengalami kelemahan bahkan runtuh sekitar era ke-14, mulailah proses Islamisasi sehingga pada selesai era ke-15 muncul komunitas Muslim di Palembang. Palembang pada selesai era ke-16 sudah merupakan daerah kantong Islam terpenting atau bahkan sentra Islam di serpihan selatan “Pulau Emas”. Bukan saja sebab reputasinya sebagai sentra perdagangan yang banyak dikunjungi pedagang Arab/Islam pada abad-abad kejayaan Sriwijaya, tetapi juga dibantu oleh kebesaran Malaka yang tak pernah melepaskan keterlibatannya dengan Palembang sebagai tanah asalnya.

Palembang sekitar awal era ke-16 sudah ada di bawah efek kekuasaan Kerajaan Demak masa pemerintahan Pate Rodim ibarat diberitakan Tome Pires (1512-1515). Mereka berdagang dengan Malaka dan Pahang. Komoditi yang diperdagangkan yakni beras dan materi makanan, katun, rotan, lilin, madu, anggur, emas, besi, kapur barus, dan lain-lainnya.

Meskipun kedudukan Palembang sebagai sentra penguasa Muslim sudah ada semenjak 1550, namun nama tokoh yang tercatat menjadi sultan pertama Kesultanan Palembang ialah Susuhunan Sultan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayyid al-Iman/Pangeran Kusumo Abdurrahman/ Kiai Mas Endi semenjak 1659 hingga 1706. Palembang berturut-turut diperintah oleh 11 sultan semenjak 1706 dan sultan yang terakhir, Pangeran Kromojoyo/Raden Abdul Azim Purbolinggo (1823-1825).

Kontak pertama Kesultanan Palembang dengan VOC terjadi pada 1610. Pada 4 November 1659 terjadi peperangan antara Kesultanan Palembang dengan VOC di bawah pimpinan Laksamana Joan van der Laen. Pada perang ini Keraton Kesultanan Palembang dibakar. Kota Palembang sanggup direbut lagi oleh pasukan Palembang dan kemudian dilakukan pembangunan-pembangunan, kecuali Masjid Agung yang hingga sekarang masih sanggup disaksikan meskipun sudah ada beberapa perubahan. Masjid agung mulai dibangun 28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei 1748 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758).

Pada masa pemerintahan putranya yaitu Sultan Ahmad Najmuddin (1758-1774) syiar agama Islam makin pesat. Pada waktu itu, berkembanglah hasil-hasil sastra keagamaan dari tokoh-tokoh, antara lain, Abdussamad al- Palimbani, Kemas Fakhruddin, Kemas Muhammad ibn Ahmad, Muhammad Muhyiddin ibn Syaikh Shibabuddin, Muhammad Ma’ruf ibn Abdullah, dan lainnya. Mengenai ulama populer Abdussamad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani (1704-1789), telah dibicarakan Azyumardi Azra dalam Historiografi Islam Kontemporer secara lengkap wacana riwayatnya, fatwa serta kitab-kitabnya dan guru-guru sufi serta tarekatnya. Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Palembang semenjak pemerintahan Sultan Mahmud Badar II menerima serangan dari pasukan Hindia Belanda pada Juli 1819 atau yang dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Muntinghe).

Serangan besar-besaran oleh pasukan Belanda pimpinan J.C. Wolterboek yang terjadi pada Oktober 1819 juga sanggup dipukul mundur oleh prajurit-prajurit Kesultanan Palembang. Tetapi pihak Belanda pada Juni 1821 mencoba lagi melaksanakan penyerangan dengan banyak armada di bawah pimpinan panglima Jenderal de Kock. Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap kemudian dibuang ke Ternate. Kesultanan Palembang semenjak 7 Oktober 1823 dihapuskan kekuasaan daerah Palembang berada eksklusif di bawah Pemerintah Hindia Belanda dengan penempatan Residen Jon Cornelis Reijnst yang tidak diterima. Sultan Ahmad Najaruddin Prabu Anom sebab memberontak kesannya ditangkap kemudian diasingkan ke Banda, dan seterusnya dipindahkan ke Menado.

Kerajaan Islam di Sumatra Barat
Awal masuk dan berkembangnya Islam di daerah Sumatera Barat masih sukar dipastikan. Berita dari Cina dari dinasti T’ang menyebutkan bahwa pada sekitar era ke-7 M (674 M) ada kelompok orang Arab (Ta-shih) dan yang oleh W.P. Goeneveldt perkampungan mereka ada di pesisir barat Sumatera. Selain pendapat tersebut, ada juga yang beropini bahwa Islam tiba dan berkembang di daerah Sumatera Barat gres sekitar selesai era ke-14 M atau era ke-15 M dan Islam sudah memperoleh pengaruhnya di kerajaan besar Minangkabau.

Bahwa Islam sudah masuk ke daerah Minangkabau pada sekitar selesai era ke-15 mungkin sanggup dihubungkan dengan dongeng yang terdapat dalam naskah kuno dari Kerinci wacana Siak Lengih Malin Sabiyatullah asal Minangkabau yang mengenalkan Islam di daerah Kerinci, semasa dengan Putri Unduk Pinang Masak, Dayang Baranai, Parpatih Nan Sabatang yang kesemuanya berada di daerah Kerinci. 

Tome Pires (1512-1515) juga mencatat keberadaan tempat-tempat ibarat Pariaman, Tiku, bahkan Barus. Dari ketiga tempat ini diperoleh barang-barang perdagangan, ibarat emas, sutra, damar, lilin, madu kamper, kapur barus, dan lainnya. Setiap tahun ketiga tempat tersebut juga didatangi dua atau tiga kapal dari Gujarat yang membawa barang dagangannya antara lain pakaian.

Sejak awal era ke-19 timbul pembaruan Islam di daerah Sumatra Barat yang membawa efek Wahabiyah dan kemudian memunculkan “Perang Padri “, Perang Padri yakni peperangan yang berlangsung di daerah Kerajaan Pagaruyung. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akhir kontradiksi dalam duduk perkara agama.

Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum tepat dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik kemudian ikut mendukung impian ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.

Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan fatwa agama Islam. Dalam beberapa negosiasi tidak ada kata setuju antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menjadikan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. 

Perjuangan kaum Padri itu makin kuat, tetapi pihak kaum Adat dibantu Belanda untuk laba politik dan ekonominya. Hal ini menciptakan kaum Padri melawan dua kelompok sekaligus yaitu kaum Adat dan kaum penjajah Belanda termasuk perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda. Pada awal era ke-19, Belanda dengan adanya celah kontradiksi antara kaum moral dengan kaum ulama dalam Perang Padri, menggunakan kesempatan demi laba politik dan ekonominya. 

Tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran. Perlawanan Padri diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin Padri terutama Tuanku Imam Bonjol dalam pertempuran Benteng Bonjol, pada 25 Oktober 1837. Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda pada selesai 1838 berhasil mengukuhkan kekuasaan politik dan ekonominya di daerah Minangkabau atau di Sumatra Barat. Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, dan pada 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, serta pada 1841 dipindahkan ke Menado kemudian ia wafat di tempat itu pada 6 November 1864.

No comments:

Post a Comment