Menulis resensi atas sebuah film atau drama merupakan cara yang bijak untuk menganalisis bagus-tidaknya sebuah pertunjukan menurut evaluasi objektif. Sebuah kritik yang ditulis menurut evaluasi objektif dipengaruhi oleh pikiran dan wawasan penulis. Sebuah kritik akan lahir sehabis adanya pertunjukan. Kalian sanggup menulis sebuah kritik jikalau telah menyaksikan pertunjukannya-seperti menonton film di bioskop atau drama di panggung teater. Dengan mengulas secara kritis, berarti kalian diuji untuk sanggup berguru jujur, cendekia, dan punya nalar serta rasa keindahan, untuk dinilai juga oleh khalayak yang membaca goresan pena kalian. Dengan demikian, kalian pun mesti objektif, mengkritik apa adanya film atau drama yang disaksikan.
Memberi sanggup diartikan sebagai tafsiran terhadap makna tersirat / implisit atau maksud tersembunyi. Interpretasi juga berarti proteksi kesan, pendapat, atau pandangan terhadap suatu teks. Pada goresan pena ini teks yang diinterpretasi ialah teks ulasan. Teks ulasan biasa dilakukan atas suatu karya di sekitar kita, sebagai umpan balik dari rasa kritis terhadap karya tersebut. Teks ulasan ialah teks yang berisi tinjauan atau analisis terhadap suatu karya, baik berupa film, buku, benda dan lain sebagainya untuk mengetahui kualitas, kelebihan dan kekurangan yang dimiliki karya tersebut yang ditujukan untuk pembaca atau pendengar khalayak ramai.
Langkah langkah menginterpretasi teks ulasan antara lain dilakukan dengan cara membaca teks tersebut dengan seksama, kemudian dilanjutkan dengan menafsirkan makna implisit atau maksud yang tersirat dalam teks tersebut. Berikut ini teladan acara menginterpretasi teks ulasan “Dongeng Utopia Masyarakat Borjuis” Teks ulasan tersebut berasal dari sebuah film yang merupakan film drama/musikal Indonesia yang dirilis pada 24 Februari 2011, yang disutradarai oleh Aditya Gumay. Film ini dibintangi oleh Emir Mahira dan Dwi Tasya. Peristiwa yang disajikan diangkat dari kisah pendek “Jendela Rara” karya Asma Nadia, yang bersumber dari kumpulan cerpen Emak Ingin Naik Haji.
- Setelah membaca teks ulasan “Dongeng Utopia Masyarakat Borjuis”, Gambaran film “Rumah Tanpa Jendela” tersebut yaitu pada bab orientasi 1 dijelaskan tradisi oposisi biner tampak pada film musikal bawah umur tersebut. Oposisi biner ialah sebuah konsep mengenai pola pengenalan insan terhadap simbol dan makna akan kata. Konsep ini menjelaskan mengenai suatu yang selalu mempunyai lawan maka akan terbentuk nilai dan makna sesungguhnya. Oposisi biner itu bukanlah sesuatu yang berlawanan, melainkan sesuatu yang saling melengkapi. Segala sesuatu yang saling melengkapi tidak sanggup dipisahkan dengan tingkatan alasannya ialah sejatinya kita tidak sanggup memahami yang satu tanpa memahami yang lainnya. Oposisi biner berkaitan dengan dua hal yang berbeda, baik keduanya faktual atau negatif, atau pertentangan (opisisi) antara faktual dan negatif.
- Pada paragraf orientasi 2 berisi wacana kisah dalam film tersebut yang terinspirasi dari model biner dalam dongeng moral berjudul The Prince and The Pauper karya Mark Twain. Aldo mewakili tokoh yang kaya namun mempunyai kekurangan dan si Rara ada tokoh yang miskin dan mempunyai keinginan yang kemudian hari harus ia bayar mahal.
- Opposite attracks ialah ketertarikan dari dua pribadi yang berlawanan. Akan tetapi, perbedaan yang menonjol itulah yang menciptakan keduanya saling menarik satu sama lain menyerupai kutub utara dan kutub selatan pada magnet. Mengikuti tradisi opposite attracks, Aldo dan Rara bertemu secara tidak sengaja dalam sebuah kecelakaan kecil. Sejak ketika itu, mereka bersahabat. Persahabatan tersebut bukan hanya pertemanan antarindividu, melainkan pertemuan dua kutub latar belakang status sosial yang berbeda.
- Layaknya dongeng bawah umur dalam majalah Bobo, film “Rumah Tanpa Jendela” memberikan fatwa moral pada bawah umur untuk menghadapi realita sosial dalam masyarakat yang terfragmentasi dalam perbedaan, baik secara struktur sosial-ekonomi maupun kondisi fisik/mental (tafsiran isi 2). Artinya bahwa dalam film tersebut berisi wacana nasehat, petuah sebuah fatwa moral untuk bawah umur dalam acara bermasyarakat sosial yang bercampur dan berkontaminasi dengan banyak perbedaan dalam banyak perbedaan.
- Namun, keinginan Rara itu dimaknai sebagai keinginan yang berlebihan ketika ia “dihukum” dengan kompensasi yang harus ia bayar (tafsiran isi 3). Apa maksudnya kata dieksekusi pada kalimat tersebut? Dihukum pada kalimat tersebut ialah Rara yang larut dalam kesenangan harus membayar dengan rumahnya habis terbakar, Si Mbok tergeletak koma dan ayahnya meninggal dunia.
- Oleh alasannya ialah itu, untuk “membayar” pelajaran yang mereka sanggup ini, keluarga Aldo menolong Rara dan Si Mboknya dengan membayarkan biaya rumah sakit serta memberikan penghidupan di villa milik mereka di luar Jakarta (tafsiran isi 4). Membayar pada kalimat tersebut ialah kemalangan yang dialami Rara alasannya ialah rumahnya habis terbakar, Si Mbok tergeletak koma dan ayahnya meninggal dunia dibalas oleh Aldo dengan membayarkan biaya rumah sakit serta memberikan penghidupan di villa milik mereka di luar Jakarta.
- Setujukah bahwa film ini menggambarkan kemiskinan sebagai bab dari takdir manusia? Saya sangat tidak baiklah alasannya ialah takdir juga sanggup dirubah dengan syarat kita yakin dan berusaha untuk mencapainya.
- Mengapa kata jendela pada film “Rumah Tanpa Jendela” dikatakan sebagai sebuah metafora yang mengena oleh penulis teks ulasan tersebut? Metafora ialah mengungkapkan ungkapan secara tidak langsung. Melalui jendela diungkapkan bahwa seseorang sanggup untuk mengakses dunia lain tanpa meninggalkan tempatnya. Rara sebagai orang miskin sanggup menikmati kehidupan orang kaya, namun dilarang meninggalkan kodratnya sebagai orang yang miskin. Makara pada dasarnya ialah baik miskin atau kaya diminta untuk sama-sama bersyukur atas apa yang telah mereka miliki.
- Karena hanya dalam kondisi itulah, si kaya termungkinkan ada dan sanggup melanjutkan upaya memperkaya diri mereka; dengan membiarkan kemiskinan ada dan ‘tidak tampak’ di depan mata? Anak-anak kelas menengah yang dimanja oleh kemudahan sehingga membuai mereka dalam mimpi-mimpi mereka sehingga nantinya menjadi manusia-manusia borjuis remaja meneruskan tatanan masyarakat yang menganggap kemiskinan dan kekayaan sebagai takdir dan jadinya tidak perlu dipertanyakan.
Rangkuman
Tradisi film musikal yang dikembangkan di Hollywood mengacu pada hal-hal yang berlawanan (oposisi biner). Tradisi oposisi biner tersebut tampak dalam film musikal bawah umur “Rumah Tanpa Jendela”. Kisah dalam film tersebut terinspirasi dari model biner dalam dongeng moral berjudul The Prince and The Pauper karya Mark Twain. Sang pangeran ialah tokoh Aldo, si miskin diwakili oleh tokoh Rara. Mengikuti tradisi opposite attracks, Aldo dan Rara bertemu secara tidak sengaja dalam sebuah kecelakaan kecil.
Film “Rumah Tanpa Jendela” memberikan fatwa moral pada bawah umur untuk menghadapi realita sosial dalam masyarakat yang terfragmentasi dalam perbedaan. Aldo, si kaya, mempunyai banyak sekali privilege, sementara itu, Rara mewakili narasi kemiskinan dalam segala keterbatasan materialnya. Rara menginginkan hal yang tak mungkin menjadi miliknya, yaitu kemewahan, keinginan Rara itu dimaknai sebagai keinginan yang berlebihan.
Hal paling tampak dalam posisi biner ialah kekurangan pada diri Aldo dan kemiskinan Rara. Jendela dalam film “Rumah Tanpa Jendela” merupakan sebuah metafora yang mengena. Jendela memungkinkan orang melihat, bukan terlibat, jendela ialah rasa syukur atau konsep penerimaan atas suatu kondisi. “Rumah Tanpa Jendela” merupakan sebuah dongeng untuk membuai bawah umur dalam mimpi-mimpi borjuis, semoga mereka menjadi manusia-manusia borjuis dewasa.
Sebagai sebuah film musikal, tidak banyak yang disumbangkan oleh lagu-lagu yang dinyanyikan dan ditarikan dalam film ini. Satu-satunya yang terwakili oleh scene-scene musikal dan gerak kamera serta editing yang kadang hiperaktif ialah energi dan semangat kanak-kanak. Adegan musikal kebanyakan merupakan penampilan kolektif. Penekanan pada kolektivitas ini merupakan salah satu “karateristik” film musikal klasik Hollywood yang ingin menjual ide-ide soal komunitas dan stabilitas sosial.
Penggambaran kemiskinan dalam film tersebut tidak berlebihan. alasannya ialah menggunakan perspektif realisme sosial dalam menilai film musikal ialah sia-sia, mengingat film musikal sendiri memberikan utopia dalam bentuk hiburan dengan mengacu pada diri sendiri (self-reference). Dalam hal ini, film musikal mengamini konsep “film yang menghibur” sebagai utopia itu sendiri.
Film “Rumah Tanpa Jendela” memungkinkan kita bicara mengenai posisi biner kelas sosial-ekonomi lewat model film musikal klasik ala Hollywood. Film ini memberikan model utopia dalam merespons kondisi masyarakat Indonesia yang terfragmentasi dalam kelas-kelas sosial-ekonomi, yaitu utopia atau kondisi hidup ideal yang dibayangkan oleh kelas menengah atas.
Film “Rumah Tanpa Jendela” memberikan fatwa moral pada bawah umur untuk menghadapi realita sosial dalam masyarakat yang terfragmentasi dalam perbedaan. Aldo, si kaya, mempunyai banyak sekali privilege, sementara itu, Rara mewakili narasi kemiskinan dalam segala keterbatasan materialnya. Rara menginginkan hal yang tak mungkin menjadi miliknya, yaitu kemewahan, keinginan Rara itu dimaknai sebagai keinginan yang berlebihan.
Hal paling tampak dalam posisi biner ialah kekurangan pada diri Aldo dan kemiskinan Rara. Jendela dalam film “Rumah Tanpa Jendela” merupakan sebuah metafora yang mengena. Jendela memungkinkan orang melihat, bukan terlibat, jendela ialah rasa syukur atau konsep penerimaan atas suatu kondisi. “Rumah Tanpa Jendela” merupakan sebuah dongeng untuk membuai bawah umur dalam mimpi-mimpi borjuis, semoga mereka menjadi manusia-manusia borjuis dewasa.
Sebagai sebuah film musikal, tidak banyak yang disumbangkan oleh lagu-lagu yang dinyanyikan dan ditarikan dalam film ini. Satu-satunya yang terwakili oleh scene-scene musikal dan gerak kamera serta editing yang kadang hiperaktif ialah energi dan semangat kanak-kanak. Adegan musikal kebanyakan merupakan penampilan kolektif. Penekanan pada kolektivitas ini merupakan salah satu “karateristik” film musikal klasik Hollywood yang ingin menjual ide-ide soal komunitas dan stabilitas sosial.
Penggambaran kemiskinan dalam film tersebut tidak berlebihan. alasannya ialah menggunakan perspektif realisme sosial dalam menilai film musikal ialah sia-sia, mengingat film musikal sendiri memberikan utopia dalam bentuk hiburan dengan mengacu pada diri sendiri (self-reference). Dalam hal ini, film musikal mengamini konsep “film yang menghibur” sebagai utopia itu sendiri.
Film “Rumah Tanpa Jendela” memungkinkan kita bicara mengenai posisi biner kelas sosial-ekonomi lewat model film musikal klasik ala Hollywood. Film ini memberikan model utopia dalam merespons kondisi masyarakat Indonesia yang terfragmentasi dalam kelas-kelas sosial-ekonomi, yaitu utopia atau kondisi hidup ideal yang dibayangkan oleh kelas menengah atas.
No comments:
Post a Comment