Nasionalisme Indonesia yakni suatu gerakan kebangsaan yang timbul pada bangsa Indonesia untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Perlakuan diskriminatif dari kolonial Belanda menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan terhadap rakyat Indonesia yang jadinya menyebabkan perasaan senasib. Golongan berakal menyadari akan nasib bangsanya sehingga terbentuk kepribadian, rujukan pikir dan etos juang yang tinggi untuk membebaskan diri dari penjajahan yang disadari tidak hanya dicapai melalui usaha fisik tetapi juga harus melalui kancah politik.
Bidang pendidikan ternyata membuka wawasan bagi kaum muda terpelajar. Mereka yakni golongan gres yang membawa ide-ide pada kesadaran kebangsaan. Sarana komunikasi dan transportasi yakni hal penting yang menghubungkan para kaum berakal untuk membentuk suatu ideologi kebangsaan. Bidang pendidikan pula yang mendorong perubahan sosial masyarakat ketika itu, melalui pendidikan tidak saja membuat tenaga-tenaga profesional, akan tetapi juga mendorong gerakan kebangsaan. Selain itu, Peranan Pers dalam usaha membantu menumbuhkembangkan kesadaran nasional cukup besar artinya bagi langkah usaha rakyat Indonesia menuju kemerdekaan. Ada keterkaitan yang dekat antara pers nasional dengan pergerakan-pergerakan kebangsaan sebagai penerus ide-ide nasionalisme.
Memasuki periode ke-20, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mendorong untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah disatukan dalam penerapan adminstrasi gres yang berpusat di Batavia, yang disebut Pax Neerlandica. Sistem manajemen tradisional berubah ke sistem manajemen modern. Pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi yang berbasis pada sistem kapitalisme Barat melalui komersialisasi, sistem moneter, dan komoditas barang. Sistem itu didukung dengan kebijakan pajak tanah, sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran.
Dampak kebijakan tersebut kehidupan rakyat Hindia Belanda mengalami penurunan kesejahteraan. Kebijakan itu menerima kritik dari C.Th. Van Deventer dalam tulisannya yang berjudul “Een Eereschlud’ (hutang kehormatan), yang dimuat di majalah De Gids (1899). Kritik-kritik itu menerima perhatian serius dari pemerintah Belanda. Ratu Wilhelmina kemudian mengeluarkan kebijakan gres yang disebut Politik Etis.
Politik Etis (balas budi) yakni suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Ada tiga aktivitas Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan trasmigrasi. Adanya Politik Etis membawa dampak besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan.
Pada masa itu pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan dibangunnya jalur kereta api Jawa-Madura, di Batavia adanya trem listrik. Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial membangun irigasi. Pemerintah kolonial juga melaksanakan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan kawasan di Sumatera. Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan wangsit bagi kaum etis pada ketika itu.
Pendidikan gaya barat menghasilkan tenaga kerja yang diharapkan oleh negara dan sektor swasta Belanda. Pengaruh pendidikan Barat memunculkan intelektual bumiputra yang memunculkan kesadaran harus bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan. Golongan yang disebut “priyayi baru” sebagian besar yakni guru dan jurnalis di kota-kota. Pendidikan dan pers dipakai menyalurkan ide-ide dan pemikiran mereka. Mereka tidak memandang Jawa, Sunda, Minangkabau, Ambon, atau apa pun sebab mereka yakni bumiputra.
Para kaum muda berakal membentuk kesadaran “nasional” sebagai bumiputra di Hindia. Mereka saling membuatkan pengalaman, gagasan, dan perkiraan perihal dunia, Hindia, dan zaman mereka. Pemerintah Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah tokoh Indonesia bergabung di dalamnya. Mereka itu pencetus wacana perubahan di forum tersebut.
Pers Membawa Kemajuan
Pada awal periode ke-20 para priyayi gres menuangkan gagasannya melalui pers (media cetak) mengenai isu-isu perubahan. Isu-isu yang dipopulerkan diantaranya peningkatan status sosial rakyat bumiputra dan peningkatan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Pers merupakan sarana berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, kemajuan dan pergerakan nasional.
Orang-orang yang aktif dalam dunia pers santara lain orang Indo dan penerbit Tionghoa mulai. Kaum bumiputra magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, kemudian tugas mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa. Kemudian bumiputra mendirikan sendiri penerbitan surat kabar mereka. Beberapa diantaranya yakni sebagai berikut
- R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji.
- Di Surakarta R. Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan oleh Albert Rusche & Co.,
- Di Yogjakarta Dr. Wahidin Sudirahusada sebagai redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemillah diterbitkan oleh Firma H. Buning.
- R. Tirtodanudja dan R. Mohammad Jusuf. Keduanya yakni redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij & Co.
- Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di Malang oleh Kwee Khaij Khee.
- Di Bandung Abdull Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co.
Para jurnalis bumiputra itulah yang menunjukkan wawasan dan ”embrio kebangsaan”. Pergerakan kebudayaan “cetak” mulai masuk di beberapa kota kolonial lain, menyerupai Surabaya, Padang, dan Semarang. Kapitalisme cetak mempermudah kaum terdidik untuk memperoleh informasi.
- Pada tahun 1901, majalah bulanan Insulinde diterbitkan atas kerjasama para berakal di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di sekolah raja (Kweekschool) Bukittinggi, terutama van Ophuysen, jago bahasa Melayu. Majalah itulah yang pertama memperkenalkan slogan “kemajuan” dan “zaman maju”.
- Tokoh muda dr. Abdul Rivai menganjurkan pada tokoh muda di Hindia untuk membentuk sebuah organisasi. Dalam tulisan-tulisannya dalam Bintang Hindia ia selalu memuat perihal “kemajuan” dan “dunia maju”. Rivai menganjurkan supaya ada organisasi berjulukan Persatuan Kaum Muda didirikan dengan cabang di semua kota-kota penting di Hindia.
- Wahidin Soedirohoesodo editor majalah berbahasa Jawa, Retnodhumilah tertarik dengan goresan pena Rivai. Gagasan Wahidin jadinya terwujud ketika para pelajar “Stovia”, mendirikan suatu organisasi berjulukan Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908
Beberapa surat kabar yang kemudian membawa kemajuan bagi kalangan pribumi yaitu Medan Prijaji ( 1909-1917) dan juga terbitan perempuan pertama yang terbit terpola yaitu Poetri Hindia (1908-1913). Seorang editornya yang dikenal yaitu R.M. Tirtoadisurya yang kemudian dikenal sebagai pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) dan kemudian menjelma Sarekat Islam (SI) dengan pimpinan Haji Samanhudi. Di Sumatera, gagasana untuk melawan sistem pemerintahan kolonial ditunjukkan melalui surat kabar Oetoesan Melajoe (1913). Anak-anak muda berpendidikan Barat di Padang menerbitkan majalah perempuan Soeara Perempuan (1918).
Wacana kemajuan terus merebak melalui pers. Pers bumiputra juga memiliki fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada ketika itu. Beberapa diantaranya yakni sebagai berikut.
- Harian Sinar Djawa, memuat perihal perlunya rakyat kecil untuk terus menuntut ilmu setinggi mungkin.
- De Express memuat berita-berita propaganda ide-ide radikal dan kritis terhadap sistem pemerintahan kolonial. Puncaknya ketika Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan Komite Boemipoetera (1913).
- Suwardi Surjaningrat dengan menulis di brosur yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was ( Seandainya Saya Menjadi Seorang Belanda).
- Semaun mengkritik beberapa kebijakan kolonial melalui Sinar Hindia, sebab kritikannya itulah ia diadili dan dijebloskan ke penjara.
- Marco Kartodikromo dikenal dengan kritikannya yang tajam terhadap aktivitas Indie Weerbaar dalam bentuk syair.
Modernisme dan Reformasi Islam
Semangat kebangkitan juga didorong oleh gerakan modernis Islam. Gerakan femormasi Islam telah dirintis di Sumatera Barat pada periode ke-19 yang berlanjut ke Jawa dan aneka macam kawasan lainnya. Pada periode ke-20 mereka lebih menekankan pada pencarian etik modernitas dari dalam melawan tradisonalisme dan kemunduran umat Islam, serta menghadapi Barat yang menjajah mereka.
Pada awal periode ke-20, empat ulama muda Minangkabau yaitu Syekh Muhammad Taher Jamaluddin (1900), Syekh Muhammad Jamil Jambek (1903), Haji Abdul Karim Amrullah (1906), dan Haji Abdullah Akhmad (1899). Mereka yakni murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang imam besar Mazhab syafi’i di Masjid Mekah yang berasal dari Minangkabau. Mereka itu kembali ke Minangkau dengan membawa pemikiran baru. Berbekal ilmu pengetahuannya itu mereka merancang perubahan di Minangkabau.
Perintis pembaruan itu yakni Syekh Taher Jamalludin yang sebagaian besar pengalamannya berasal dari Asia Barat. Majalah Al Imam yakni sarana yang mereka gunakan untuk menyebarkan gerakan pembaruan keluar dari Minangkabau. Di samping itu Al-Imam juga memuat aliran agama dan peristiwa-peristiwa penting dunia. Tokoh yang kemudian muncul yakni H. Abdullah Akhmad yang menerima pendidikan di Mekah, selanjutnya mendirikan sekolah dasar di Padang (1909). Ia mendirikan majalah Al-Munir yang menjebarkan agama Islam yang bergotong-royong dan terbit di Padang tahun 1910-1916.
Di Padang Panjang, Haji Abdul Karim Amrullah mulai menumbuhkan kesadaran akan perlunya perubahan metode pengajaran dan sistem pendidikan tradisonal menjadi lebih modern menyerupai sekolah Belanda. Sementara itu, berdiri pula Sekolah Diniyah di Padang (1915). Pendirinya yakni Zainuddin Labai. Sekolah itu menunjukkan pengajaran umum. Sekolah itu merupakan sekolah agama modern. Tahun1923, Rahmah, adik Zainuddin Labai mendirikan Sekolah Diniyah Puteri. Sekolah itu merupakan sekolah agama putri pertama di Indonesia. Berdirinya sekolah putri di tanah Minangkabau menunjukan bahwa sistem matrilinial yang berlaku dalam tradisi relasi Minangkabau memiliki dampak positif terhadap kemajuan kaum perempuan.
No comments:
Post a Comment