Mengevaluasi teks yang dimaksud pada goresan pena ini yaitu acara yang dilakukan untuk melaksanakan perbaikan terhadap teks goresan pena yang sudah ada. Sebuah teks ulasan sanggup dievaluasi melalui struktur teks maupun unsur kebahasaannya. Dengan melaksanakan penilaian diharapkan teks ulasan menjadi lebih baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Untuk sanggup mengevaluasi sebuah teks tentunya dibutuhkan kejelian dan ketelitian dalam memahami teks tersebut. Dengan kejelian dan ketelitian yang kita miliki tersebut acara mengevaluasi teks sanggup berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Mengevaluasi teks dilakukan dengan cara menyunting teks tersebut.
Menyunting merupakan langkah terakhir dari tahap penyusunan suatu teks, termasuk teks ulasan. Penyuntingan dilakukan untuk menerima teks yang lebih baik dan terhindar dari kesalahan-kesalahan. Menyunting teks yaitu memperbaiki teks sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang sesuai. Sebuah teks disunting alasannya yaitu ingin menjaga kualitas teks tersebut. Untuk sanggup menyunting teks dibutuhkan pengetahuan wacana struktur, isi, bahasa, dan ejaan. Tujuan dari menyunting teks yaitu untuk menyajikan teks yang baik dan benar sesuai dengan kaidah EYD.
Struktur Teks
Teks ulasan yang ditulis oleh Dwi Klik Santosa di atas menggambarkan sebuah pementasan karya Goenawan Mohamad yang disesuaikan dari serial komik “Gundala Putera Petir” karya Hasmi. Struktur teks terdiri orientasi^tafsiran isi^evaluasi^rangkuman.
Teks ulasan yang ditulis oleh Dwi Klik Santosa di atas menggambarkan sebuah pementasan karya Goenawan Mohamad yang disesuaikan dari serial komik “Gundala Putera Petir” karya Hasmi. Struktur teks terdiri orientasi^tafsiran isi^evaluasi^rangkuman.
No. | Struktur Teks | Kalimat |
1. | Orientasi | “Gundala Gawat” karya budayawan Goenawan Mohamad (GM) disesuaikan dari serial komik “Gundala Putera Petir” karya Hasmi. GM menganggap ini yaitu karya guyonan belaka. “Sesekali kita boleh to, merenungkan sesuatu dengan cara yang guyonan,” kata GM, “semua terserah pada pencernaan penonton.” Seperti diakui oleh si seniman dari Njogja yang kondang alasannya yaitu karakternya yang unik dan besar lengan berkuasa memalsukan banyak sekali logat dan huruf pengucapan tokohtokoh nomer satu Indonesia, bahwa, ”Pementasan naskah ini oleh Teater Gandrik yaitu sebuah anjuran bagi publik untuk menafsirkan nilai-nilai sebuah esensi,” kata Butet Kartaredjasa, “apakah guyonan ala kami sama dengan guyonan gaya OVJ.” |
2. | Tafsiran isi 1 | Mendengarkan ucapan kedua tokoh utama di balik pementasan Teater Gandrik itu, terbayang bagi saya untuk mencernanya ke dalam keseluruhan insiden pementasan itu di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, 16—17 April 2013. Terdapat bermacam-macam balasan dan respon masyarakat sehabis menyaksikannya. Muncul pula kritik dari beberapa media, namun secara umum, memperlihatkan nilai plus. Begitupun saya rasa, dari sekian penonton yang antusias menikmati suguhan seni ala nJogja itu. |
3. | Tafsiran isi 2 | Harian Suara Merdeka melalui goresan pena Sony Wibisono, tak kurang, memperlihatkan judul ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan itu. Namun toh, isi dari kandungan goresan pena Sony lebih menekankan pada tajuk ”Gundala”, dalam dongeng yang ditulis Goenawan Mohamad ini menjadi sosok yang sangat dirindukan Hasmi untuk dihidupkan kembali. Dan sebagai teater modern, Teater Gandrik mematuhi rel naskah, tapi lelucon Jogja terutama plesetannya yaitu ”kewajiban”. Cerita ”Gundala Gawat” setidaknya memperlihatkan sindiran yang kontesktual dengan kondisi Indonesia. Pertama kelompok koruptor, pengalihan info dari wabah petir, dan idealisme yang tidak laku.” |
4. | Tafsiran isi 3 | Begitupun, Harian Jawa Pos yang memuatnya sebagai headline, menekankan sebuah data, menyerupai lakon-lakon sebelumnya, lewat ”Gundala Gawat”, Gandrik tetap tampil dengan sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa. Untung Basuki, pemain drama kawakan Bengkel Teater Rendra kala 1980-1990-an, dikala saya mintai pendapat, hanya menggeleng-gelengkan kepala. ”Saya ndak habis pikir, GM, menciptakan pembiasaan naskah teater yang menyerupai itu,” katanya. |
5. | Tafsiran Isi 4 | Dan kata Iwan Sudjono, seniman Jogja yang sudah kerapkali berpentas di luar negeri juga memperlihatkan tanggapannya. ”Sebagai drama, secara plot cukuplah saya pahami maksudnya. Tapi saya rasa, terlampau banyak badutannya. Sehingga agak luput menyerupai apa yang saya bayangkan, dikala naskah ini ditulis oleh seorang GM.” |
6. | Tafsiran isi 5 | Teater Kontekstual Almarhum Rendra memperlihatkan pengertian kepada saya dalam sebuah pendapatnya, ”Yang paling menonjol dari sebuah pementasan drama yaitu bagaimana kejelian sutradara mengalirkan plot. Sehingga dramaturgi yang terbentuk akan menjadi penanda bagaimana emosi penonton ikut dan hanyut ke dalam semangat pertunjukan.” |
7. | Evaluasi 1 | Menyaksikan secara utuh, pementasan Teater Gandrik pada sajian ”Gundala Gawat” dari semenjak gladi resik, pementasan hari pertama dan kedua, dan mensinergikan dalam pemahaman saya mencerna apa yang dikatakan Rendra dalam kredonya tersebut, cukup berhasil saya rasa Djaduk Ferianto memainkan kiprahnya sebagai sutradara. Ritme yang mengalir untuk menggarap dramaturgi dimunculkan dari kreativitas yang aneka. Dari pengolahan plot yang saling sinambung dan terjaga. Dari abstraksi, titik puncak dan anti klimaks, cukup mengalir memperlihatkan tanya yang berjawab bagi benak segenap penonton. |
7. | Evaluasi 2 | Naik turun ingin tau penonton dimainkan dengan akumulasi permainan cahaya atau lighting yang sinergi dengan rancak, jenaka dan senyapnya olahan permainan musik dan layar digital animasi yang kaya nuansa. Apalagi dengan gaya sampakan atau akting semau gua yang karenanya menjadi ciri khas para ”gandriker” yang sesekali meloncat dari naskah. Berupa celotehan dan spontanitas yang kontekstual dengan alur. Tentu saja fragmen begini, yang selalu menjadi ciri mereka dan dinantikan para pecinta dan fans beratnya untuk menghasilkan senyum dan bahkan tawa ngakak. Apalagi telah dua tahun grup teater dari Njogja ini, bolos dari perhelatan, dan ditinggal pergi Heru Kesawa Murti, salah satu dedengkotnya, yang meninggal dalam usia 54 tahun alasannya yaitu sakit. Menjadikan pementasan yang emosional bagi para anggota Gandrik, kiranya, menyerupai ingin memperlihatkan sebuah semangat, “Teater Gandrik akan terus hidup dan berpentas!” |
7. | Evaluasi 3 | Hanya saja, saya melihat, bahwa, Susilo Nugroho, yang bersahabat dikenali sebagai si Den Baguse Ngarso dan menjadi pemeran Gundala, dalam beberapa adegan nampak kedodoran, berakting tidak menyerupai biasanya. Bagaimana pun, ialah pemain drama utama dalam pelakonan pentas itu. Jika semangatnya naik turun, pastilah berakibat bagi yang lain untuk naik turun. Seringkali ia melaksanakan hal yang fatal. Yaitu terlambat masuk ke dalam timing. Sehingga naskah yang semestinya lucu secara naskah, lantas tak menghasilkan senyum atau ketawa penonton, alias hambar-hambar saja. Begitupun, adegan yang semestinya dramatis. Menyepikan suasana untuk memberi nuansa tragis, atau sitegang sebagai citra tajamnya problem peristiwa, jadi naik turun pula maknanya dalam pencernaan penonton. |
7. | Evaluasi 4 | Untungnya ada Butet Kartaredjasa, menyerupai yang saya lihat bermain nyaris prima dan konsisten. Hanya saja pada pementasan hari pertama, ia sedikit down untuk memberi nuansa dramatis pada ending pementasan. Sebagaimana karakternya yang kuat, yaitu bersuara besar dan serak, dan berilmu mengatur tempo pengucapan, jelaslah ia hebat orasi yang mumpuni. Sehingga pandai membetot sepenuhnya perhatian penonton. Hanya tertuju kepadanya, begitulah misteri panggung itu bila sudah jinak. Namun, kali itu, ia mengalami dilema, terlambat timing. Sehingga semestinya, kalimat terakhir yang menggelegar dan giris itu, ”Kalau saja para superhero tidak lagi gagah menyuarakan kebenaran. Titenono… sopo leno, tak petir ndasmu!” akan ikut pula memalu dan menggodam perasaan penonton. Dan menjadikan sepi ruang alam: alam panggung, alam Concert Hall, alam penonton, sesepi kuburan. Sehingga pada akhirnya, akan dibawa pulang sepi itu untuk terus direnungkan menjadi semacam bahan-bahan untuk mengolah lagi. |
8. | Rangkuman | Secara umum, saya melihat, para pemain drama cukup mumpuni memainkan perannya. Lucu, berisi dan kritis.Terhadap pernyataan GM, bahwa pelakonan ini menyerupai bermakna guyonan belaka, saya rasa ada benarnya. Tapi juga sebuah pandangan lain dari arti sebuah guyonan, bahwa, disampaikan dengan kaidah Teater Gandrik, terasa bedanya. Akumulasi dari keseluruhan kinerja jeli sang sutradara dan dibantu seperangkat artistik kepercayaannya, memungkinkan memberi cakrawala lain di hati dan benak pemirsa. (Sumber: https://id-id.facebook.com/notes/dwi-klik-santosa) |
Kaidah Kebahasaan
Dalam teks “Guyonan Bersama Pementasan Teater Gandrik ‘Gundala Gawat’” tersebut banyak terdapat kekeliruan dalam penggunaan kaidah kebahasaan. Banyak juga ditemukan pemubaziran penggunaan kata atau penulisan kalimat. Dalam bidang ilmu bahasa, kemubaziran, yang disebut juga dengan kelewahan” dimaknai sebagai penggunaan kata secara berlebih. Artinya, kehadiran kata itu sebenarnya tidak diperlukan, yang bila dihilangkan pun tidak akan mengganggu informasi yang disampaikan. Contohnya yaitu penggunaan kata bersinonim secara bersama-sama, menyerupai supaya supaya, demi untuk, dan servis pelayanan.
No. | Kata/Kalimat yang Keliru atau Mubazir | Kata/Kalimat yang Benar |
1. | Harian Suara Merdeka melalui goresan pena Sony Wibisono, tak kurang, memperlihatkan judul ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan itu. | Harian Suara Merdeka, melalui goresan pena Sony Wibisono, memperlihatkan judul ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan itu. |
2. | Seringkali ia melaksanakan hal yang fatal. Yaitu terlambat masuk ke dalam timing. | Seringkali ia melaksanakan hal yang fatal, yaitu terlambat masuk timing. |
3. | Terdapat bermacam-macam balasan dan respon masyarakat sehabis menyakiskannya | Terdapat bermacam-macam balasan masyarakat |
4. | Hanya saja pada pementasan hari pertama, ia sedikit down untuk memberi nuansa dramatis pada ending pementasan. | Hanya saja pada pementasan hari pertama, Butet Kartaredjasa kurang baik memberi kesan dramatis di simpulan pementasan. |
5. | Sehingga pada akhirnya, akan dibawa pulang sepi itu untuk terus direnungkan menjadi semacam bahan-bahan untuk mengolah lagi. | Pada akhirnya, akan dibawa pulang sepi itu untuk terus direnungkan menjadi bahan-bahan untuk mengolah lagi. |
6. | Begitupun, Harian Jawa Pos yang memuatnya sebagai headline, menekankan sebuah data, menyerupai lakon-lakon sebelumnya, lewat ”Gundala Gawat”, Gandrik tetap tampil dengan sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa. | Begitupun harian Jawa pos memuatnya sebagai topik utama yang menekankan sebuah data menyerupai lakon sebelumnya. Lewat “Gundala Gawat”, Gandrik tetap tampil dengan sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa. |
7. | Naik turun ingin tau penonton dimainkan dengan akumulasi permainan cahaya atau lighting yang sinergi dengan rancak, jenaka dan senyapnya olahan permainan musik dan layar digital animasi yang kaya nuansa. | Rasa ingin tau penonton dimainkan dengan permainan lighting yang bersinergi dengan cantik dan jenaka, serta senyapnya permainan musik dan layar digital animasi yang bernuansa. |
8. | Muncul pula kritik dari beberapa media, namun secara umum, memperlihatkan nilai plus. | Muncul pula kritik dari beberapa media. Tetapi secara umum semuanya memperlihatkan nilai baik |
9. | Dan kata Iwan Sudjono, seniman Jogja yang sudah kerapkali berpentas di luar negeri juga memperlihatkan tanggapannya. ”Sebagai drama, secara plot cukuplah saya pahami maksudnya. | Iwan Sudjono, seniman Yogyakarta yang sering pentas diluar negeri juga turut memperlihatkan tanggapannya. “Sebagai drama, secara plot cukuplah saya pahami maksudnya” |
10. | Tapi saya rasa, terlampau banyak badutannya. | Saya rasa, terlampau banyak badutannya. |
Menurut kalian, termasuk corak kritik apakah teks ulasan di atas? Menurut saya corak kritik yang dipakai yaitu corak kritik eksposisi alasannya yaitu pengulas menulis wacana bagan-bagan yang membangun pementasan “Teater Gandrik” dimulai dari naskah, pemeran, alur, dan pementasan. Pengulas Dwi Klik Santosa juga mengungkapkan beberapa kritik dan kebanggaan dalam teks ulasannya.
Setelah menilai dan menyunting teks “Guyonan Bersama Pementasan Teater Gandrik ‘Gundala Gawat’” dari banyak sekali sisi, baik struktur teks, kaidah kebahasaan, dan juga isi teks ulasan secara keseluruhan, berikutnya yaitu menulis ulang kembali teks ulasan tersebut dengan mengunakan bahasa kalian sendiri. Seperti pola di bawah ini.
Orientasi
“Gundala Gawat” merupakan karya budayawan Goenawan Mohamad (GM) yang disesuaikan dari serial komik “Gundala Putera Petir” karya Hasmi. GM menganggap "Gundala Gawat" yaitu karya guyonan belaka. Pementasan naskah oleh Teater Gandrik yaitu sebuah anjuran bagi publik untuk menafsirkan nilai-nilai sebuah esensi.
Tafsiran isi
Pementasan dilaksanakan di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, 16-17 April 2013. Terdapat bermacam-macam balasan masyarakat sehabis menyaksikannya. Muncul kritik dari beberapa media yang secara umum memperlihatkan nilai lebih. Harian Suara Merdeka, melalui goresan pena Sony Wibisono, memperlihatkan judul ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan itu. Isi dari kandungan goresan pena Sony lebih menekankan pada tajuk ”Gundala” menjadi sosok yang sangat dirindukan Hasmi untuk dihidupkan kembali. Cerita ”Gundala Gawat” memperlihatkan sindiran yang kontesktual dengan kondisi Indonesia. Harian Jawa Pos memuatnya sebagai topik utama, menekankan sebuah data, Gandrik tetap tampil dengan sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa. Iwan Sudjono, seniman Yogyakarta yang sering pentas diluar negeri juga turut memperlihatkan tanggapannya. “Sebagai drama, secara plot cukuplah saya pahami maksudnya”
Teater Kontekstual
Menurut pendapat Almarhum Rendra, ”Yang paling menonjol dari sebuah pementasan drama yaitu bagaimana kejelian sutradara mengalirkan plot. Sehingga dramaturgi yang terbentuk akan menjadi penanda bagaimana emosi penonton ikut dan hanyut ke dalam semangat pertunjukan.” Djaduk Ferianto memainkan kiprahnya sebagai sutradara menggarap dramaturgi. Rasa ingin tau penonton dimainkan dengan permainan lighting yang bersinergi dengan cantik dan jenaka, serta senyapnya permainan musik dan layar digital animasi yang bernuansa.
Evaluasi
Hanya saja, Susilo Nugroho yang menjadi pemeran Gundala, dalam beberapa adegan nampak kedodoran, berakting tidak menyerupai biasanya. Jika semangatnya naik turun mengakibatkan yang lain juga naik turun. Seringkali ia melaksanakan hal yang fatal, yaitu terlambat masuk timin. Untungnya ada Butet Kartaredjasa, yang bermain prima dan konsisten. Hanya saja pada pementasan hari pertama, Butet Kartaredjasa kurang baik memberi kesan dramatis di simpulan pementasan.
Rangkuman
Secara umum, para pemain drama cukup mumpuni memainkan perannya. Lucu, berisi dan kritis. Terhadap pernyataan GM, bahwa pelakonan ini menyerupai bermakna guyonan belaka, saya rasa ada benarnya. Tapi juga sebuah pandangan lain dari arti sebuah guyonan, bahwa, disampaikan dengan kaidah Teater Gandrik, terasa bedanya. Akumulasi dari keseluruhan kinerja jeli sang sutradara dan dibantu seperangkat artistik kepercayaannya, memungkinkan memberi cakrawala lain di hati dan benak pemirsa.
No comments:
Post a Comment