Agama Islam menyebar ke seluruh Nusantara dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Di pulau Sulawesi terdapat banyak kerajaan yang bercorak Islam, beberapa diantaranya ialah kerajaan-kerajaan yang berada di Sulawesi Selatan. Kerajaan-kerajaan Islam yang terdapat di Sulawesi Selatan, antara lain Bone, Gowa, Luwu, Soppeng, Tallo, dan Wajo. Tanpa mengesampingkan kerajaan lainnya, kerajaan Gowa-Tallo mempunyai tugas sejarah yang cukup penting baik bagi sejarah daerah, nasional dan juga internasional yang berperan dalam perdagangan regional dan internasional. Gowa dan Tallo juga mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di Sulawesi Selatan.
Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang berlangsung ketika itu. Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan dengan jalur perdagangan. Penyebaran Islam yang dilakukan para pedagang sanggup dimungkinkan alasannya mereka pergi ke banyak sekali penjuru bumi. Dalam pedoman Islam setiap orang mempunyai kewajiban yang sama untuk berdakwah. Setiap Muslim, apapun kedudukan dan profesinya mereka dituntut untuk sanggup memberikan pedoman Islam walaupun hanya satu ayat al-Quran. Pada perkembangannya memang ada kelompok-kelompok yang secara khusus menjadi penyebar agama. Berikut ini ialah beberapa kerajaan Islam di Sulawesi di antaranya Gowa-Tallo, Bone, Wajo dan Soppeng, dan Kesultanan Buton. Dari sekian banyak kerajaan-kerajaan itu yang populer antara lain Kerajaan Gowa-Tallo
a. Kerajaan Gowa-Tallo Letak Kerajaan Gowa dan Tallo Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak didaerah Sulawesi Selatan. Secara geografis Sulawesi Selatan mempunyai posisi yang penting, alasannya akrab dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan, kawasan Makassar menjadi sentra persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bab timur, maupun para pedagang yang berasal dari kawasan Indonesia bab barat. Dengan letak menyerupai ini menjadikan Kerajaan Makassar bermetamorfosis kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.
Kerajaan Gowa-Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, menyerupai dengan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Luwu yang bersekutu dengan Wajo ditaklukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo. Ketiga Kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng mengadakan persatuan untuk mempertahankan kemerdekaannya yang disebut perjanjian Tellum Pocco, sekitar 1582. Sejak Kerajaan Gowa resmi sebagai kerajaan bercorak Islam pada 1605, Gowa meluaskan imbas politiknya. Kerajaan-kerajaan yang tunduk kepada Kerajaan Gowa-Tallo antara lain Wajo pada 10 Mei 1610, dan Bone pada 23 Nopember 1611.
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan dilakukan oleh para mubalig yang disebut Dato’ Tallu (Tiga Dato), yaitu Dato’ Ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu). Para mubalig itulah yang mengislamkan Raja Luwu yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 1013 H (4-5 Februari 1605 M), Raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari Tallo yang berjulukan I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M.
Dalam sejarah Kerajaan Gowa usaha Sultan Hasanuddin dalam mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajahan kompeni (VOC) Belanda. Peristiwa peperangan dari waktu ke waktu terus berjalan dan gres berhenti antara 1637-1638. Perang di Sulawesi Selatan ini berhenti sehabis terjadi perjanjian Bongaya pada 1667 yang sangat merugikan pihak Gowa-Tallo.
b. Kerajaan Wajo
Sumber sejarah Kerajaan Wajo terdapat pada sumber hikayat lokal Lontara Sukkuna Wajo. Di hikayat lokal tersebut ada dongeng yang menghubungkan ihwal pendirian kampung Wajo yang didirikan oleh tiga orang anak raja dari kampung tetangga Cinnotta’bi yaitu berasal dari keturunan yang kuasa yang mendirikan kampung dan menjadi raja-raja dari ketiga bab (limpo) bangsa Wajo: Bettempola, Talonlenreng, dan Tua. Kepala keluarga dari mereka menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo.
Sejak ketika itu raja-raja di Wajo tidak lagi turun temurun tetapi melalui pemilihan dari seorang keluarga raja menjadi arung-matoa artinya raja yang pertama atau utama. Selama keempat arung-matoa dewan pangreh-praja diperluas dengan tiga pa’betelompo (pendukung panji), 30 arung-ma’bicara (raja hakim), dan tiga duta, sehingga jumlah anggota dewan berjumlah 40 orang. Mereka itulah yang memutuskan segala perkara. Kerajaan Wajo memperluas kawasan kekuasaannya sehingga menjadi Kerajaan Bugis yang besar.
Kerajaan Wajo pernah ditaklukan Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas Islam dan pernah tunduk pada 1610. Diceritakan pula dalam hikayat tersebut bahwa bagaimana Dato’ ri Bandang dan Dato’ Sulaeman memperlihatkan pelajaran agama Islam terhadap raja-raja Wajo dan rakyatnya dalam persoalan kalam dan fikih. Diceritakan bahwa di Kerajaan Wajo selama 1612 hingga 1679 diperintah oleh sepuluh orang arung-matoa.
Kerajaan Wajo sering pula membantu Kerajaan Gowa pada peperangan gres dengan Kerajaan Bone pada 1643, 1660, dan 1667. Kerajaan Wajo sendiri pernah ditaklukkan Kerajaan Bone tetapi alasannya didesak maka Kerajaan Bone sendiri takluk kepada Kerajaan Gowa-Tallo. Perang besar-besaran antara Kerajaan Gowa-Tallo di bawah Sultan Hasanuddin melawan VOC pimpinan Speelman yang menerima sumbangan dari Aru Palaka dari Bone berakhir dengan perjanjian Bongaya pada 1667. Sejak itu terjadi penyerahan Kerajaan Gowa pada VOC dan disusul pada 1670 Kerajaan Wajo yang diserang tentara Bone dan VOC sehingga jatuhlah ibukota Kerajaan Wajo yaitu Tosora. Arung-matoa to Sengeng gugur. Arung-matoa penggantinya terpaksa menandatangani perjanjian di Makassar ihwal penyerahan Kerajaan Wajo kepada VOC
No comments:
Post a Comment