Friday, July 31, 2020

Jaringan Keilmuan Di Nusantara

Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam sebagai pusat-pusat kekuasaan Islam sangat kuat dalam proses islamisasi di Indonesia, yaitu sebagai suatu wadah yang sanggup mempermudah penyebaran Islam di Indonesia. Ketika kekuasaan politik Islam semakin kokoh dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, pendidikan semakin memperoleh perhatian, sebab kekuatan politik digabungkan dengan semangat para mubaligh untuk mengajarkan Islam merupakan penunjang yang mempercepat tersebarnya Islam ke banyak sekali wilayah di Indonesia. Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam ibarat Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Minangkabau, Palembang, Demak, Cirebon, Banten, Pajang, Mataram, Gowa-Tallo, Bone, Ternate, Tidore, Banjar, dan lain-lain sangat kuat terhadap perkembangan Islam selanjutnya.

Perkembangan forum pendidikan dan pengajaran di masjid-masjid kesultanan ditentukan oleh pemberian penguasa. Sultan bukan saja mendanai kegiatan-kegiatan masjid, tetapi juga mendatangkan para ulama, terutama Timur Tengah, maupun dari kalangan ulama pribumi. Para ulama yang kemudian juga difungsikan sebagai pejabat-pejabat negara, bukan saja menunjukkan pengajaran agama Islam di masjid-masjid negara, tetapi juga di istana sultan. Para sultan dan pejabat tinggi rupanya juga menimba ilmu dari para ulama. Seperti halnya yang terjadi di Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Kerajaan Malaka.

Ketika Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran dalam bidang politik, tradisi keilmuannya tetap berlanjut. Pasai pada kala ke-14 M sudah merupakan sentra studi Islam di Asia Tenggara dan menjadi kawasan berkumpul ulama-ulama dari negara-negara lslam. Samudera Pasai terus berfungsi sebagai sentra studi Islam di Nusantara pada waktu itu pendidikan juga tentu menerima tempat/ perhatian tersendiri. Ketika Kerajaan Malaka telah masuk Islam, sentra studi keislaman tidak lagi hanya dipegang oleh Samudera Pasai. Malaka kemudian juga berkembang sebagai sentra studi Islam di Asia Tenggara, bahkan mungkin sanggup dikatakan berhasil menyainginya. 

Malaka menjadi sentra perkembangan agama Islam di Asia Tenggara, sampai mencapai puncak kejayaan dimasa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459-1477). Kebesaran Malaka ini berjalan seiring dengan perkembangan agama Islam. Kerajaan Malaka dengan ulet melaksanakan pengajian dan pendidikan Islam. Proses pendidikan dan pengakaran itu sebagian berlangsung di kerajaan. Perpustakaan sudah tersedia di istana dan difungsikan sebagai sentra penyalinan kitab-kitab dan penerjemahannya dari bahasa Arab ke bahasa Melayu. Karena perhatian kerajaan yang tinggi terhadap pendidikan Islam, banyak ulama dari mancanegara yang tiba ke Malaka, ibarat dari Afghanistan, Malabar, Hindustan, dan terutama dari Arab.

Banyaknya para ulama besar dari banyak sekali negara yang mengajar di Malaka telah menarik para penuntut ilmu dari banyak sekali kerajaan Islam di Asia Tenggara untuk datang. Dari Jawa misalnya, Sunan Bonang dan Sunan Giri pernah menuntut ilmu ke Malaka dan sehabis menuntaskan pendidikannya mereka kembali ke Jawa dan mendirikan forum pendidikan Islam di kawasan masing-masing.

Hubungan antar kerajaan Islam Samudera Pasai, Malaka, dan Aceh Darussalam, sangat bermakna dalam bidang budaya dan keagamaan. Ketiganya tersohor dengan sebutan Serambi Mekkah dan menjadi sentra pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia. Untuk mengintensifkan proses Islamisasi, para ulama telah mengarang, menyadur, dan menerjemahkan karya-karya keilmuan Islam.
  1. Sultan Iskandar Muda yakni raja yang sangat memperhatikan pengembangan pendidikan dan pengajaran agama Islam. Ia mendirikan Masjid Raya Baiturrahman, dan memanggil Hamzah al Fanzuri dan Syamsuddin as Sumatrani sebagai penasihat. Syekh Yusuf al Makassari ulama dari Kesultanan Goa di Sulawesi Selatan pernah menuntut ilmu di Aceh Darussalam sebelum melanjutkan ke Mekkah. 
  2. Melalui pengajaran Abdur Rauf as Singkili telah muncul ulama Minangkabau Syekh Burhanuddin Ulakan yang populer sebagai penggagas pendidikan Islam di Minangkabau dan Syekh Abdul Muhyi al Garuti yang berjasa membuatkan pendidikan Islam di Jawa Barat. 
  3. Karya-karya susastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Kerajaan-kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama, yaitu Islam. Hal itu menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin erat.

Di Kesultanan Banten, fungsi istana sebagai forum pendidikan juga sangat menonjol. Pada kala ke-17, Banten menjadi sentra ilmu pengetahuan Islam di pulau Jawa. Hal ini ditandai dengan adanya para ulama dari banyak sekali negara mengakibatkan Banten sebagai kawasan untuk berguru agama Islam. Martin van Bruinessen menyatakan, “Pendidikan agama cukup menonjol dikala Belanda tiba untuk pertama kalinya pada 1596 dan menyaksikan bahwa orang-orang Banten mempunyai guru-guru yang berasal dari Mekkah”.

Di Kesultanan Palembang, keraton difungsikan sebagai sentra sastra dan ilmu agama. Banyak Sultan Palembang yang mendorong perkembangan intelektual keagamaan, ibarat Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1774) dan Sultan Muhammad Baha’uddin (1774-1804). Banyak ilmuwan asal Palembang yang produktif melahirkan karya-karya ilmiah keagamaan: ilmu tauhid, ilmu kalam, tasawuf, tarekat, tarikh, dan al- Qur’an. Perhatian sultan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam tercermin pada keberadaan perpustakaan keraton yang mempunyai koleksi yang cukup lengkap dan rapi.

Dua hal yang mempercepat proses pendidikan dan pengajaran Islam yaitu penggunaan huruf Arab dan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu (lingua franca). Semua ilmu yang diberikan di forum pendidikan Islam di Nusantara ditulis dalam huruf Arab, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu atau Jawa. Aksara Arab itu disebut dengan banyak sebutan, ibarat huruf Jawi (di Melayu) dan huruf pegon (di Jawa). Luasnya penguasaan huruf Arab ke Nusantara telah menciptakan para pengunjung asal Eropa ke Asia Tenggara terpukau oleh tingginya tingkat kemampuan baca tulis yang mereka jumpai.

Berkembangnya pendidikan Islam di istana-istana raja seolah menjadi pendorong munculnya pendidikan dan pengajaran di masyarakat. Setelah terbentuknya banyak sekali ulama hasil didikan dari istana-istana, maka murid-muridnya melaksanakan pendidikan ke tingkatan yang lebih luas, dengan dilangsungkannya pendidikan di rumah-rumah ulama untuk masyarakat umum, khususnya sebagai kawasan pendidikan dasar, layaknya kuttâb di wilayah Arab. Sebagaimana kuttâb (lembaga pendidikan dasar di Arab semenjak masa Rasulullah) yang biasa mengambil kawasan di rumah-rumah ulama, di Nusantara pendidikan dasar berlangsung di rumah-rumah guru. Pelajaran yang diberikan terutama membaca al-Qur’an, menghafal ayat-ayat pendek, dan berguru bacaan salat lima waktu. Dan ini diperkirakan sama tuanya dengan kehadiran Islam di wilayah ini.

Di Nusantara, masjid-masjid dikelola secara swadaya oleh masyarakat menjalankan fungsi pendidikan dan pengajaran untuk masyarakat umum. Demikian juga yang terjadi di Malaka dan kemudian Johor, Aceh Darussalam, Minangkabau, Palembang, Demak, Cirebon, Banten, Pajang, Mataram, Gowa-Tallo, Bone, Ternate, Tidore, Banjar, Papua dan lain sebagainya. Di masjid proses pendidikan dan pengajaran mengalami perkembangan. Tidak jarang di antaranya menjelma sebuah forum pendidikan yang cukup kompleks, ibarat meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, langgar di Kalimantan dan pesantren di Jawa.

No comments:

Post a Comment