Friday, July 31, 2020

Islam Dan Jaringan Perdagangan Antar Pulau

Kepulauan Indonesia mempunyai bahari dan daratan yang luas. Masyarakat Nusantara pada umumnya yaitu masyarakat pesisir yang kehidupan mereka tergantung pada perdagangan antarpulau dan antarbenua. Sedangkan mereka yang berada di pedalaman yaitu masyarakat agraris, yang kehidupan mereka tergantung kepada pertanian. Pelaut tradisional Indonesia telah mempunyai keterampilan berlayar yang dipelajari dari nenek moyang secara turun-temurun. Sejak dulu mereka sudah mengenal teknologi arah angin dan trend untuk menentukan perjalanan pelayaran dan perdagangan. Warisan terbaik dari sejarah zaman Islam lainnya ialah adanya pengintegrasian Nusantara lewat nasionalisme keagamaan dan jaringan perdagangan antarpulau.

Laut telah berfungsi sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antar suku bangsa di kepulauan indonesia dan bangsa-bangsa di dunia. Nenek moyang kita telah mempunyai keterampilan berlayar yang di pelajari secara turun temurun. Sejak dulu mereka sudah mengenal teknologi arah angin dan trend untuk menentukan  perjalanan, pelayaran dan perdagangan.

Jaringan perdagangan dan pelayaran antarpulau di Nusantara terbentuk lantaran antarpulau saling membutuhkan barang-barang yang tidak ada di tempatnya. Untuk menunjang terjadinya relasi itu, para pedagang harus melengkapi diri dengan pengetahuan ihwal angin, navigasi, pembuatan kapal, dan kemampuan diplomasi dagang. Dalam kondisi menyerupai itu, munculah saudagar-saudagar dan syahbandar yang berperan melahirkan dan membangun pusat-pusat perdagangan di Nusantara.

Munculnya pusat-pusat perdagangan Nusantara disebabkan adanya kemampuan sebagai tempat berikut ini. Pertama, pemberi bekal untuk berlayar dari suatu tempat ke tempat lain. Kedua, pemberi tempat istirahat bagi kapal-kapal yang singgah di Nusantara. Ketiga, pengumpul barang komoditas yang dibutuhkan bangsa lain. dan terakhir, penyedia tempat pemasaran bagi barang-barang ajaib yang siap disebarkan keseluruh Nusantara.

Berdasarkan data arkeologis menyerupai prasasti-prasasti maupun data historis berupa berita-berita asing, kegiatan perdagangan di Kepulauan Indonesia sudah dimulai semenjak masa pertama Masehi.
  1. Jalur-jalur pelayaran dan jaringan perdagangan Kerajaan Sriwijaya dengan negeri-negeri di Asia Tenggara, India, dan Cina terutama menurut berita-berita Cina telah dikaji, antara lain oleh W. Wolters (1967).
  2. Catatan-catatan sejarah Indonesia dan Malaya yang dihimpun dari sumber-sumber Cina oleh W.P Groeneveldt, memperlihatkan adanya jaringan–jaringan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dengan banyak sekali negeri terutama dengan Cina. Kontak dagang ini sudah berlangsung semenjak abad-abad pertama Masehi hingga dengan masa ke-16. Kapal-kapal dagang Arab juga sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara semenjak permulaan masa ke-7. Dari literatur Arab banyak sumber isu ihwal perjalanan mereka ke Asia Tenggara.
  3. Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan yang bercorak Islam atau kesultanan, antara lain, Samudra Pasai dan Malaka yang tumbuh dan berkembang semenjak masa ke-13 hingga masa ke-15, sedangkan Ma Huan juga memberitakan adanya komunitas-komunitas Muslim di pesisir utara Jawa pecahan timur.
Adanya jalur pelayaran tersebut menimbulkan munculnya jaringan perdagangan dan pertumbuhan serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan dengan kota-kota bandarnya pada masa ke-13 hingga masa ke-18 misalnya, Samudra Pasai, Malaka, Banda Aceh, Jambi, Palembang, Siak Indrapura, Minangkabau, Demak, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Kutai, Banjar, dan kota-kota lainnya.

Jalur Perdagangan dari Sumber Tome Pires
Berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) memperlihatkan citra mengenai keberadaan jalur pelayaran jaringan perdagangan, baik regional maupun internasional. Ia menceritakan ihwal kemudian lintas dan kehadiran para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam. Selain itu Tome Pires juga mencatat kehadiran para pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabbol, Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva. Berdasarkan isu Tome Pires, buatlah peta jalur perdagangan di pecahan timur kepulauan Indonesia!
 Kepulauan Indonesia mempunyai bahari dan daratan yang luas Islam dan Jaringan Perdagangan antar Pulau
Berdasarkan kehadiran sejumlah pedagang dari banyak sekali negeri dan bangsa di Samudra Pasai, Malaka, dan bandar-bandar di pesisir utara Jawa sebagaimana diceritakan Tome Pires, kita sanggup mengambil kesimpulan adanya jalur-jalur pelayaran dan jaringan perdagangan antara beberapa kesultanan di Kepulauan Indonesia baik yang bersifat regional maupun internasional.

Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat sehingga acara perdagangan dan pelayaran di Samudra Hindia semakin ramai. Peningkatan pelayaran tersebut disebabkan makin majunya perdagangan Dinasti Abbasiyah (750-1258). Dengan  Baghdad sebagai pusat pemerintahan menggantikan Damaskus (Syam), acara pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia menjadi lebih ramai. Pedagang Arab yang selama ini hanya berlayar hingga India, semenjak masa ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka perjalanan ke Cina. Hubungan Arab dengan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia terjalin secara langsung. Hubungan tersebut menjadi semakin ramai ketika pedagang Arab dihentikan masuk ke Cina dan koloni mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu pemberontakan yang terjadi pada 879 H. Orang–orang Islam melarikan diri dari Pelabuhan Kanton dan meminta proteksi Raja Kedah dan Palembang.

Pola Perdagangan Setelah Jatuhnya Malaka
Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, mendorong para pedagang untuk mengambil jalur alternatif, dengan melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda. Pergeseran ini melahirkan pelabuhan mediator yang baru, menyerupai Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar dan lain sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh bajak laut. Akibat dari acara bajak laut, rute pelayaran perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa kemudian berubah melalui pesisir Sumatra dan Sunda. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan Barus, Pariaman, dan Tiku. Berikut ini yaitu gambar jalur perdagangan sebelum dan setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis.
 Kepulauan Indonesia mempunyai bahari dan daratan yang luas Islam dan Jaringan Perdagangan antar Pulau
Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia lebih terkonsentrasi pada perdagangan cengkih dan pala. Dari Ternate dan Tidore (Maluku) dibawa barang komoditi ke Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Somba Opu pada masa ke-16 telah menjalin relasi perdagangan dengan Patani, Johor, Banjar, Blambangan, dan Maluku. Adapun Hitu (Ambon) menjadi pelabuhan yang menampung komoditi cengkih yang tiba dari Huamual (Seram Barat), sedangkan komoditi pala berpusat di Banda. Semua pelabuhan tersebut umumnya didatangi oleh para pedagang Jawa, Cina, Arab, dan Makassar. 

Kehadiran pedagang itu mensugesti corak kehidupan dan budaya setempat, antara lain ditemui bekas koloninya menyerupai Maspait (Majapahit), Kota Jawa (Jawa) dan Kota Mangkasare (Makassar). Pada masa ke-15, Sulawesi Selatan telah didatangi pedagang Muslim dari Malaka, Jawa, dan Sumatra. Dalam perjalanan sejarahnya, masyarakat Muslim di Gowa terutama Raja Gowa Muhammad Said (1639-1653) dan putra penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) telah menjalin relasi dagang dengan Portugis. Bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng Pattingaloang turut memperlihatkan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fr. Vieira, meskipun mereka beragama Katolik. 

Kerjasama ini didorong oleh adanya perjuangan monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilancarkan oleh kompeni Belanda di Maluku.Hubungan Ternate, Hitu dengan Jawa sangat dekat sekali. Ini ditandai dengan adanya seorang raja yang dianggap benar-benar telah memeluk Islam ialah Zainal Abidin (1486-1500) yang pernah berguru di Madrasah Giri. Ia dijuluki sebagai Raja Bulawa, artinya raja cengkih, lantaran membawa cengkih dari Maluku sebagai persembahan. Cengkih, pala, dan bunga pala (fuli) hanya terdapat di Kepulauan Indonesia pecahan timur, sehingga banyak barang yang hingga ke Eropa harus melewati jalur perdagangan yang panjang dari Maluku hingga ke Laut Tengah. Cengkih yang diperdagangkan yaitu putik bunga flora hijau (szygium aromaticum atau caryophullus aromaticus) yang dikeringkan. Satu pohon ini ada yang menghasilkan cengkih hingga 34 kg. Hamparan cengkih ditanam di perbukitan di pulau-pulau kecil Ternate, Tidore, Makian, dan Motir di lepas pantai barat Halmahera dan gres berhasil ditanam di pulau yang relatif besar, yaitu Bacan, Ambon dan Seram.

Meningkatnya ekspor lada dalam kancah perdagangan internasional, menciptakan pedagang Nusantara mengambil alih peranan India sebagai pemasok utama bagi pasaran Eropa yang berkembang dengan cepat. Selama periode (1500- 1530) banyak terjadi gangguan di bahari sehingga bandar-bandar Laut Tengah harus mencari pasokan hasil bumi Asia ke Lisabon. Oleh lantaran itu secara berangsur jalur perdagangan yang ditempuh pedagang muslim bertambah aktif, ditambah dengan adanya perang di bahari Eropa, penaklukan Ottoman atas Mesir (1517) dan pantai Laut Merah Arabia (1538) memperlihatkan proteksi yang besar bagi berkembangnya pelayaran Islam di Samudra Hindia.

Meskipun banyak kota bandar, namun yang berfungsi untuk melaksanakan ekspor dan impor komoditi pada umumnya yaitu kota-kota bandar besar yang beribu kota pemerintahan di pesisir, menyerupai Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara-Demak, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Banjarmasin, Malaka, Samudra Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang dan Jambi. Kesultanan Mataram berdiri dari masa ke-16 hingga ke-18. Meskipun kedudukannya sebagai kerajaan pedalaman namun wilayah kekuasaannya mencakup sebagian besar pulau Jawa yang merupakan hasil perluasan Sultan Agung. Kesultanan Mataram juga mempunyai kota-kota bandar, menyerupai Jepara, Tegal, Kendal, Semarang, Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya. 

Dalam proses perdagangan telah terjalin relasi antaretnis yang sangat erat. Berbagai etnis dari kerajaan-kerajaan tersebut kemudian berkumpul dan membentuk komunitas. Misalnya,di Jakarta terdapat perkampungan Keling, Pekojan, dan kampung-kampung lainnya yang berasal dari daerah-daerah asal yang jauh dari kota-kota yang dikunjungi, menyerupai Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, dan Kampung Bali.

Pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam, sistem jual beli barang masih dilakukan dengan cara barter. Sistem tukar barang dilakukan antara pedagang-pedagang dari tempat pesisir dengan tempat pedalaman. Di beberapa kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam telah memakai mata uang sebagai nilai tukar barang. Beberapa macam mata uang yang telah beredar pada ketika itu adalah
  1. Drama (Dirham), mata uang emas dari Pedir dan Samudera Pasai; 
  2. Tanga, mata uang perak dari Pedir; 
  3. Ceiti, mata uang timah dari Pedir; 
  4. Cash (Caxa), mata uang emas di Banten; 
  5. Picis, mata uang kecil di Cirebon; 
  6. Dinara, mata uang emas dari Gowa-Tallo; 
  7. Kupa, mata uang emas kecil dari Gowa-Tallo; 
  8. Benggolo, mata uang timah dari Gowa-Tallo; 
  9. Tumdaya, mata uang emas di Pulau Jawa; 
  10. Mass, mata uang emas di Aceh Darussalam. 
Sedangkan mata uang ajaib yang telah dipakai dalam kegiatan perdagangan di Nusantara antara lain Real (Arab); Yuan dan Cash (Cina).

Kemunduran perdagangan dan kerajaan yang berada di tempat tepi pantai disebabkan lantaran kemenangan militer dan ekonomi Belanda, dan munculnya kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman yang tidak menaruh perhatian pada perdagangan.

Mengapa para pedagang waktu itu menentukan jalur perairan atau laut? Hal ini disebabkan lantaran Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh lautan. Pada masa itu jalur bahari lebih cepat ditempuh daripada jalur darat. Nenek moyang kita telah mempunyai keterampilan berlayar yang di pelajari secara turun temurun. Sejak dulu mereka sudah mengenal teknologi arah angin dan trend untuk menentukan perjalanan, pelayaran dan perdagangan.

No comments:

Post a Comment