Membandingkan teks yakni kegiatan yang dilakukan untuk menemukan persamaan dan perbedaan atas suatu teks. Membandingkan dua teks opini sanggup diartikan sebagai perjuangan menemukan persamaan dan perbedaan atas kedua teks berdasarkan data-data yang ada dalam teks. Persamaan dan perbedaan teks tersebut sanggup dilihat dari segi struktur teks, isi teks. Perbandingan struktur teks merujuk pada persamaan dan perbedaan penyajian isi struktur dalam dua buah teks yang dibandingkan. Perbandingan tersebut bertujuan untuk menelaah kelengkapan struktur. Perbandingan isi teks merujuk pada kegiatan membandingkan persamaan dan perbedaan dalam pengolahan unsur kebahasaan kedua teks.
Struktur teks itu merupakan citra cara teks itu dibangun. Kalian sanggup Teks opini disusun dengan struktur pernyataan pendapat, diikuti oleh argumentasi, dan ditutup oleh pernyataan ulang pendapat. Struktur teks ini sanggup dituliskan ibarat berikut: pernyataan pendapat^argumentasi^pernyataan ulang pendapat (thesis statement^arguments^ reiteration). Pernyataan pendapat (thesis statement). Pernyataan pendapat berisikan topik wacana sebuah permasalahan yang akan dibahas. Argumentasi merupakan pendukung yang akan memperkuat opini yang hendak disampaikan. Pernyataan ulang pendapat (reiteration) merupakan bagaian simpulan teks opini yang berisi penegasan kembali pendapat yang telah dikemukakan supaya pembaca atau pendengar semakin yakin dengan pandangan kalian tersebut. Perhatikan struktur kedua teks di bawah ini
No. | Struktur | Kalimat |
1. | Pernyataan Pendapat | Indonesia yakni nirwana sekaligus dongeng nyata, bukan isapan jempol belaka atau romantisme dari masa lalu. Ada begitu banyak tempat indah yang tersembunyi dan masih belum tersentuh. Sayangnya, tempat-tempat itu belum digarap serius sebagai tujuan wisata. Jangankan menciptakan kegiatan wisata yang kreatif, membangun prasarananya saja kerap tidak dilakukan pemerintah. |
2. | Argumentasi | Dalam beberapa tahun terakhir, bahkan keindahan sejumlah tempat terancam oleh eksploitasi alam yang salah dan serakah. Padahal, dengan pariwisata, kawasan bisa mendapat penghasilan sekaligus memelihara alam selingkungannya. Di kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, ironi itu terpampang nyata. Kepulauan itu mempunyai pantai-pantai indah, bahari yang bening dan tenang, serta ikan berwarna-warni yang menyelinap di antara terumbu karang indah. Menjelang senja, matahari menjadi bola merah yang ditelan bahari jingga. Namun, di sana juga berlangsung perusakan alam yang kerap didukung para politikus. Mereka tiba hanya pada ketika kampanye untuk memancing suara, bahkan mempersilakan para nelayan mengeb*m terumbu karang. Keinginan pemerintah sentra menjadikannya sebagai taman nasional ditentang justru oleh pemerintah daerah. Di Mentawai, Sumatera Barat, lain lagi yang terjadi. Kepulauan ini mempunyai ombak terbaik untuk berselancar. Di dunia ini hanya ada tiga tempat yang mempunyai barrel-ombak berbentuk terowongan-yang sanggup ditemui sepanjang waktu: Hawaii, Haiti, dan Mentawai. Namun, pemerintah kawasan seakan-akan tidak berdaya di sana. Resor tumbuh menjamur, tetapi bantuan mereka kepada ekonomi kawasan amat minimal. Mungkin ini merupakan bentuk “protes” mereka kepada pemerintah kawasan yang tidak serius membangun prasarana wisata di sana. Dengan ribuan “surga yang tersembunyi” itu, pemerintah seharusnya bisa menaikkan jumlah wisatawan asing yang tiba ke negeri ini. Tahun lalu, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, hanya ada 8 juta wisatawan asing yang tiba berkunjung ke Indonesia. Jangankan dibandingkan dengan Prancis yang bisa mendatangkan 83 juta turis tahun lalu, jumlah wisatawan asing ke Indonesia masih jauh dari Malaysia, yang berdasarkan United Nations World Tourism Organization kedatangan 25 juta pelancong pada 2012. Ini menempatkan Malaysia pada peringkat ke-10 negara dengan jumlah wisatawan asing terbanyak. Problem utama dari tidak berkembangnya pariwisata di Indonesia yakni ceteknya kesadaran akan potensi yang kita miliki. Pemerintah sentra ataupun kawasan masih lebih bahagia mendapat uang dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam. Mereka lebih suka membabat hutan untuk mengambil kayunya, menggali buminya untuk mengeduk mineral di dalamnya, atau menggantikan pepohonan hutan dengan kelapa sawit. Pariwisata dianggap tidak terlalu menguntungkan-terutama untuk pejabat yang korup. Tidak ada resor atau pengelola wisata yang bisa membayar setoran ke pejabat korup sebesar yang disetor pejabat hutan atau pemilik tambang. Kesadaran menjaga alam dan berbagi potensi wisata justru tiba dari operator wisata. Di Togean, seorang pemilik resor harus membayar nelayan secara bersiklus supaya mereka tidak memburu ikan dengan b*m. Ia berupaya menyadarkan masyarakat wacana arti penting keindahan alam di halaman rumah mereka. Di Hulu Bahau, Kalimantan Utara, seorang ketua susila besar berhasil menyadarkan masyarakat untuk menjaga hutan. Bersama forum ibarat WWF, masyarakat di sana berbagi wisata sungai dan rimba. Pemerintah harus lebih serius memikirkan program-program untuk membungkus potensi ini supaya lebih menarik. Singapura, misalnya, pulau kecil yang penuh beton itu bisa menciptakan banyak atraksi wisata-meski sebagian besar artifisial dan terlihat lebih indah di iklan-yang bisa menarik 15 juta wisatawan asing. Hampir dua kali lipat dari yang ke Indonesia. Selama ini pemerintah hanya menjual Bali dan Bali, atau-kalau mau dikatakan agak berpandangan luas sedikit-bergesernya pun paling-paling hanya ke Yogyakarta dan Danau Toba. Padahal tempat-tempat itu tidak perlu “dijual” lagi dan sebaiknya dibiarkan jalan sendiri. Berapa banyak peminat wisata yang tahu, misalnya, bahwa Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, di pertemuan antara Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan arus surut Sungai Kampar, terdapat “bono”, tidal bore yang dirindukan para selancar sungai, dan diakui sebagai yang terbaik di dunia. |
3. | Pernyataan Ulang Pendapat | Indonesia memang nirwana sekaligus dongeng nyata. Di tangan para pemangku kepentingan terletak tanggung jawab merayakannya. (Sumber: Tempo, 18—24 November 2013) |
Tentang Baik dan Benar oleh: Agus Sri Danardana
No. | Struktur | Kalimat |
1. | Pernyataan Pendapat | Tak sanggup dimungkiri bahwa dalam berbahasa (Indonesia), ukuran baik dan benar masih sering menjadi perbalahan. Sekalipun gampang didefinisikan, ukuran baik dan benar itu acap kali bias dalam implementasinya. Mungkin lantaran secara terminologis kata baik dan benar itu sudah menyaran pada hal yang sempurna, tanpa cacat sehingga orang pun tidak segan-segan memaknai slogan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar itu sama dengan bahasa Indonesia baku. Sebagai akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak mempunyai kemampuan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahkan, banyak pula orang yang kemudian berantipati pada slogan itu lantaran merasa telah dibelenggunya. Menganggap bahasa Indonesia yang baik dan benar sama dengan bahasa Indonesia baku yakni sebuah kekeliruan. Bahasa Indonesia baku sesungguhnya hanyalah salah satu ragam bahasa Indonesia yang secara kebijakan (policy) ditetapkan sebagai pola penggunaan bahasa Indonesia dalam situasi resmi. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan orang lebih sering berada dalam situasi tidak resmi sehingga tuntutan untuk selalu berbahasa Indonesia ragam baku itu memang tidak ada. |
2. | Argumentasi | Secara sederhana, bahasa yang baik dan benar sanggup dijelaskan sebagai berikut. Bahasa yang baik yakni bahasa yang dipakai sesuai dengan situasi pemakaiannya, sedangkan bahasa yang benar yakni bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah (aturan) bahasa. Karena ditentukan oleh banyak hal (seperti tempat, topik, dan tujuan pembicaraan serta kawan/lawan bicara), yang sanggup memunculkan banyak ragam bahasa, ukuran bahasa yang baik (sesuai dengan situasi pemakaian bahasa) sering dipahami secara salah oleh banyak orang. Pada umumnya, orang cenderung menyederhanakan cakupan pengertian situasi pemakaian bahasa itu, misalnya, hanya terbatas pada tempat saja. Hal itu diperparah lagi oleh rendahnya penguasaan kaidah bahasa (Indonesia) mereka. Sudah menjadi diam-diam umum bahwa masyarakat (Indonesia) gemar melanggar aturan, tak terkecuali hukum bahasa yang meliputi tata bunyi/lafal, tatatulis/ejaan, tatakata, tatakalimat, dan tatamakna itu.. Rupanya, di sinilah letak persoalannya. Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya mempunyai satu warna/ ragam. Mereka tidak (mau) menyadari bahwa bahasa Indonesia mempunyai banyak ragam, identik dengan keanekaragaman masyarakat penggunanya. Pada umumnya, lantaran tidak mempunyai kesadaran itu, mereka hanya menguasai satu ragam bahasa sehingga di mana pun dan kapan pun selalu menggunakan ragam bahasa yang dikuasainya itu. Ibarat berpakaian, di mana pun dan kapan pun mereka selalu menggunakan pakaian yang sama. Atas dasar itu, sesungguhnya orang tidak perlu berbahasa baku ketika tawar-menawar di pasar atau sedang mengobrol dengan tetangga ketika ronda. Dalam situasi tidak resmi ibarat itu, bentuk-bentuk tidak baku, ibarat duit alih-alih uang; awak/aku/ane/gue alih-alih saya; dan biarin alih-alih biarkan, justru layak digunakan. Bayangkan, betapa lucu dan absurd kalau dalam tawarmenawar terjadi obrolan ibarat berikut ini. “Bang, berapakah harga satu kilo daging ini?” “Satu kilo daging ini saya jual Rp100.000,00, Bu.” “Apakah dihentikan ditawar, Bang.” “Boleh, boleh. Berapa Ibu menawar?” “ Rp90.000,00 saja ya, Bang.” Pun sebaliknya, sangatlah tidak pantas kalau ada orang menggunakan bentuk-bentuk tidak baku itu dalam sebuah seminar, dengan sobat akrabnya sekalipun. Dalam batas-batas tertentu, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar mungkin masih sanggup dimaklumi. Penghilangan imbuhan (awalan) pada judul goresan pena di surat kabar, misalnya, masih sanggup dimaklumi lantaran surat kabar mempunyai keterbatasan ruang. Konon, setiap jengkal ruang (karakter) di surat kabar bernilai bisnis. Oleh lantaran itu, permakluman yang sama seharusnya tidak diberikan kepada penyiar yang membacakan goresan pena itu untuk pendengar/pemirsanya. Mengapa? Karena penyiar tidak terikat oleh ruang. Kalaupun penyiar terikat oleh waktu, sesungguhnya ia tetap mempunyai kebebasan untuk menyiasatinya: dengan mempercepat tempo, misalnya. Bagaimana dengan bahasa iklan dan sastra? Tidak berbeda dengan ragam bahasa yang lain, ukuran baik dan benar tetap sanggup diterapkan pada dua ragam (iklan dan sastra) itu. “Keanehan” berbahasa dalam iklan dan sastra (kalau memang ada) harus dipandang sebagai kreativitas berbahasa pembuat/pengarang selama tidak bertentangan dengan kaidah bahasa yang berlaku. Semua orang mungkin setuju bahwa iklan yang berbunyi: Terus terang, … terang terus, misalnya, yakni contoh kreativitas berbahasa yang berestetika tinggi. Akan tetapi, bagaimana dengan iklan yang berbunyi: …melindungi dari kuman? Sebagai contoh yang baikkah bunyi iklan itu? Tentu tidak. Mengapa? Karena bunyi iklan yang terakhir itu, di samping tidak mengajari orang berlogika dengan baik, juga sanggup mengecoh dan membodohi konsumen. Betapa tidak, seandainya tangan konsumen tiba-tiba gatal-gatal atau bahkan melepuh sesudah menggunakan produk yang diiklankan itu, perusahaan pembuat produk itu pun akan sanggup lepas tanggung jawab atas tuntutan konsumen lantaran bunyi iklannya memang tidak menjanjikan sanggup melindungi apa pun, apalagi tangan konsumen. Keanehan berbahasa, lantaran sudah berlangsung usang dan berterima, sering tidak dianggap sebagai kesalahan. Dalam surat-menyurat atau dalam pidato-pidato, misalnya, kalimat yang berbunyi Atas perhatiannya, diucapkan terima kasih seakan-akan sudah menjadi baku dan dianggap benar. Padahal, kalau ditanya siapa yang memberi perhatian dan siapa yang memberi ucapan, pasti tidak ditemukan tanggapan yang benar lantaran -nya dan di mengacu kepada orang ketiga: bukan orang pertama dan kedua yang sedang berdialog, baik dalam surat maupun pidato. |
3. | Pernyataan Ulang Pendapat | Begitulah, berbahasa dengan baik dan benar ternyata tidak hanya sanggup memperlancar komunikasi, tetapi juga sanggup meluruskan cara berpikir (berlogika) dan sekaligus mengajarkan cara bertanggung jawab. (Sumber: Agus Sri Danardana [Ed.], Paradoks: Kumpulan Tulisan Alinea di Riau Pos 2013, Pekanbaru: Palagan Press, 2013, halaman 1—4) |
Bagaimanakah berbahasa yang baik dan benar itu? Berbahasa yang baik dan benar berdasarkan saya yakni menggunakan bahasa sesuai dengan situasi pemakaiannya (resmi atau tidak resmi) dan sesuai dengan kaidah (aturan) bahasa.
Teks opini berisi gagasan pribadi atau usulan mengenai sesuatu. Pada teks “Tentang Baik dan Benar”, gagasan apa yang hendak diungkapkan penulis? Penulis ingin memberikan wacana berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Baca dan cermati kembai teks tersebut. Argumentasi apa saja yang diutarakan penulis untuk mendukung gagasannya?
- Pada umumnya, orang cenderung menyederhanakan cakupan pengertian situasi pemakaian bahasa itu, misalnya, hanya terbatas pada tempat saja.
- Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya mempunyai satu warna/ ragam.
- Atas dasar itu, sesungguhnya orang tidak perlu berbahasa baku ketika tawar-menawar di pasar atau sedang mengobrol dengan tetangga ketika ronda.
- Dalam batas-batas tertentu, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar mungkin masih sanggup dimaklumi.
- Tidak berbeda dengan ragam bahasa yang lain, ukuran baik dan benar tetap sanggup diterapkan pada dua ragam (iklan dan sastra) itu.
- Keanehan berbahasa, lantaran sudah berlangsung usang dan berterima, sering tidak dianggap sebagai kesalahan.
Teks opini memuat argumentasi satu sisi, dan jumlah argumentasi tidak ditentukan. Selain merupakan milik pencipta teks, argumentasi sanggup dikembangkan dari pendapat umum yang diambil dari sumber lain, sepanjang sumber itu disebutkan sebagai referensi. Beberapa argumentasi yang dikembangkan dari pendapat lain yakni sebagai berikut.
No. | Argumentasi | Referensi |
---|---|---|
1. | Pada umumnya, orang cenderung menyederhanakan cakupan pengertian situasi pemakaian bahasa itu, misalnya, hanya terbatas pada tempat saja. | Sudah menjadi diam-diam umum bahwa masyarakat (Indonesia) gemar melanggar aturan, tak terkecuali hukum bahasa yang meliputi tata bunyi/lafal, tatatulis/ejaan, tatakata, tatakalimat, dan tatamakna itu. |
2. | Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya mempunyai satu warna/ ragam. | Mereka tidak (mau) menyadari bahwa bahasa Indonesia mempunyai banyak ragam, identik dengan keanekaragaman masyarakat penggunanya. |
3. | Atas dasar itu, sesungguhnya orang tidak perlu berbahasa baku ketika tawar-menawar di pasar atau sedang mengobrol dengan tetangga ketika ronda. | Dalam situasi tidak resmi ibarat itu, bentuk-bentuk tidak baku, ibarat duit alih-alih uang; awak/aku/ane/gue alih-alih saya; dan biarin alih-alih biarkan, justru layak digunakan |
4. | Dalam batas-batas tertentu, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar mungkin masih sanggup dimaklumi. | Penghilangan imbuhan (awalan) pada judul goresan pena di surat kabar, misalnya, masih sanggup dimaklumi lantaran surat kabar mempunyai keterbatasan ruang. |
5. | Tidak berbeda dengan ragam bahasa yang lain, ukuran baik dan benar tetap sanggup diterapkan pada dua ragam (iklan dan sastra) itu. | “Keanehan” berbahasa dalam iklan dan sastra (kalau memang ada) harus dipandang sebagai kreativitas berbahasa pembuat/pengarang selama tidak bertentangan dengan kaidah bahasa yang berlaku. |
6. | Keanehan berbahasa, lantaran sudah berlangsung usang dan berterima, sering tidak dianggap sebagai kesalahan. | Dalam surat-menyurat atau dalam pidato-pidato, misalnya, kalimat yang berbunyi Atas perhatiannya, diucapkan terima kasih seakan-akan sudah menjadi baku dan dianggap benar. |
Terdapat dua macam teks opini, yaitu opini analitis dan opini hortatoris. Opini analitis berkenaan dengan konsep atau teori wacana sesuatu, sedangkan opini hortatoris berkenaan dengan tindakan yang perlu dilakukan atau kebijakan yang perlu dibuat. Bandingkanlah teks “Menjual Sembari Menjaga Nirwana” dan “Tentang Baik dan Benar” teks tersebut termasuk teks opini analitis atau hortatoris?
- Teks "Menjual Sembari Menjaga Nirwana" merupakan opini hotatoris lantaran teks tersebut berafiliasi dengan tindakan yang perlu dilakukan untuk menjaga kelestarian alam di Indonesia.
- Teks "Tentang Baik dan Benar" merupakan opini analitis lantaran teks tersebut berafiliasi dengan konsep berbahasa Indonesia yanga baik dan benar.
Teks opini meliputi penggunaan verba material, relasional, dan mental sekaligus. Verba relasional yakni verba yang memberikan korelasi intensitas (yang mengandung pengertian A yakni B), sirkumstansi (yang mengandung pengertian A pada/di dalam B), dan milik (yang mengandung pengertian A mempunyai B). Verba yang pertama tergolong ke dalam verba relasional identifikatif, sedangkan verba yang kedua dan ketiga tergolong ke dalam verba relasional atributif. Pada verba relasional identifikatif terdapat partisipan token (token) atau teridentifikasi (identified) dan nilai (value) atau pengidentifikasi (identifier). Misal: Ayah (token) yakni (verba relasional identifikasi) pelindung keluarga (nilai). Pada verba relasional atributif terdapat partisipan penyandang (carrier) dan sandangan (attribute). Misal: Ayah (penyandang) mempunyai (verba relasional atributif) kendaraan beroda empat gres (sandangan).
Verba mental, pada umumnya dipakai untuk mengajukan klaim. Verba ini mengambarkan persepsi (misalnya: melihat, merasa), afeksi (misalnya: suka, khawatir), dan kognisi (misalnya: berpikir, mengerti). Pada verba mental ini terdapat partisipan pengindera (senser) dan fenomena. Contohnya dalam klausa: Saya mempercayai bahwa..., Menurut saya..., Saya berpendapat.... Contoh lain dalam kalimat: Ayah (pengindera) mendengar (verba mental) kabar itu (fenomena).
Beberapa contoh verba yang terdapat dalam teks "Tentang Baik dan Benar" yakni sebagai berikut.
Beberapa contoh verba yang terdapat dalam teks "Tentang Baik dan Benar" yakni sebagai berikut.
No. | Kalimat | Verba | Jenis Verba |
---|---|---|---|
1. | Sebagai akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak mempunyai kemampuan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. | Merasa | Verba Mental |
2. | Bahkan, banyak pula orang yang kemudian berantipati pada slogan itu lantaran merasa telah dibelenggunya. | Merasa | Verba Mental |
3. | Begitulah, berbahasa dengan baik dan benar ternyata tidak hanya sanggup memperlancar komunikasi, tetapi juga sanggup meluruskan cara berpikir (berlogika) dan sekaligus mengajarkan cara bertanggung jawab. | Berpikir | Verba Mental |
4. | Menganggap bahasa Indonesia yang baik dan benar sama dengan bahasa Indonesia baku adalah sebuah kekeliruan. | Adalah | Verba Relasional Identifikatif |
5. | Bahasa yang baik adalah bahasa yang dipakai sesuai dengan situasi pemakaiannya, sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah (aturan) bahasa. | Adalah | Verba relasional Identitikatif |
5. | Sebagai akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. | Memiliki | Verba Relasional Atributif |
6. | Penghilangan imbuhan (awalan) pada judul goresan pena di surat kabar, misalnya, masih sanggup dimaklumi lantaran surat kabar memiliki keterbatasan ruang. | Memiliki | Verba Relasional Atributif |
7. | Karena penyiar tidak terikat oleh ruang. Kalaupun penyiar terikat oleh waktu, sesungguhnya ia tetap memiliki kebebasan untuk menyiasatinya: dengan mempercepat tempo, misalnya. | Memiliki | Verba Relasional Atributif |
8. | Rupanya, di sinilah letak persoalannya. Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya memiliki satu warna/ ragam. | Memiliki | Verba Relasional Atributif |
9. | Semua orang mungkin setuju bahwa iklan yang berbunyi: Terus terang, … terang terus, misalnya, adalah contoh kreativitas berbahasa yang berestetika tinggi. | Adalah | Verba Relasional Identifikatif |
10. | Rupanya, di sinilah letak persoalannya. Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya mempunyai satu warna/ ragam. | Menganggap | Verba Mental |
Konjungsi
Konjungsi yang banyak dijumpai pada teks opini yakni konjungsi yang dipakai untuk menata argumentasi, ibarat pertama, kedua, berikutnya, dan sebagainya; atau konjungsi yang dipakai untuk memperkuat argumentasi, ibarat bahkan, juga, selain itu, lagi pula, sebagai contoh, misalnya, padahal, justru dan lain-lain; atau konjungsi yang menyatakan korelasi alasannya akibat, ibarat sejak, sebelumnya, dan sebagainya; konjungsi yang menyatakan harapan, ibarat agar, supaya, dan sebagainya.
No. | Kalimat | Konjungsi | Fungsi Konjungsi |
---|---|---|---|
1. | Bahkan, banyak pula orang yang kemudian berantipati pada slogan itu lantaran merasa telah dibelenggunya. | Bahkan | Untuk memperkuat argumentasi |
2. | Betapa tidak, seandainya tangan konsumen tiba-tiba gatal-gatal atau bahkan melepuh sesudah menggunakan produk yang diiklankan itu, perusahaan pembuat produk itu pun akan sanggup lepas tanggung jawab atas tuntutan konsumen lantaran bunyi iklannya memang tidak menjanjikan sanggup melindungi apa pun, apalagi tangan konsumen. | Bahkan | Untuk menyatakan harapan |
3. | Karena bunyi iklan yang terakhir itu, di samping tidak mengajari orang berlogika dengan baik, juga sanggup mengecoh dan membodohi konsumen. | Juga | Untuk memperkuat argumentasi |
4. | Begitulah, berbahasa dengan baik dan benar ternyata tidak hanya sanggup memperlancar komunikasi, tetapi juga sanggup meluruskan cara berpikir (berlogika) dan sekaligus mengajarkan cara bertanggung jawab. | Juga | Untuk memperkuat argumentasi |
5. | Sebagai contoh yang baikkah bunyi iklan itu? Tentu tidak. Mengapa? Karena bunyi iklan yang terakhir itu, di samping tidak mengajari orang berlogika dengan baik, juga sanggup mengecoh dan membodohi konsumen. | Sebagai contoh | Untuk memperkuat argumentasi |
5. | Namun, di sana juga berlangsung perusakan alam yang kerap didukung para politikus. | Juga | Untuk memperkuat argumentasi |
6. | Pada umumnya, orang cenderung menyederhanakan cakupan pengertian situasi pemakaian bahasa itu, misalnya, hanya terbatas pada tempat saja. | Misalnya | Untuk memperkuat argumentasi |
7. | Penghilangan imbuhan (awalan) pada judul goresan pena di surat kabar, misalnya, masih sanggup dimaklumi lantaran surat kabar mempunyai keterbatasan ruang. | Misalnya | Untuk memperkuat argumentasi |
8. | Dalam surat-menyurat atau dalam pidato-pidato, misalnya, kalimat yang berbunyi Atas perhatiannya, diucapkan terima kasih seakan-akan sudah menjadi baku dan dianggap benar. | Misalnya | Untuk memperkuat argumentasi |
9. | Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan orang lebih sering berada dalam situasi tidak resmi sehingga tuntutan untuk selalu berbahasa Indonesia ragam baku itu memang tidak ada. | Padahal | Untuk memperkuat argumentasi |
10. | Padahal, kalau ditanya siapa yang memberi perhatian dan siapa yang memberi ucapan, pasti tidak ditemukan tanggapan yang benar lantaran -nya dan di mengacu kepada orang ketiga: bukan orang pertama dan kedua | Padahal | Untuk memperkuat argumentasi |
Modalitas
Teks opini/editorial mengandung modalitas untuk membangun opini yang mengarah kepada saran atau anjuran. Modalitas merupakan cara seseorang menyatakan perilaku dalam sebuah komunikasi. Beberapa bentuk modalitas antara lain: memang, niscaya, pasti, sungguh, tentu, tidak, bukan, bukannya, dan sebagainya (untuk menyatakan kepastian); iya, benar, betul, sebenarnya, malahan, dan sebagainya (untuk menyatakan pengakuan); agaknya, barangkali, entah, mungkin, rasanya, rupanya, sebagainya (untuk menyatakan kesangsian); semoga, mudah-mudahan, dan sebagainya (untuk menyatakan keinginan); baik, mari, hendaknya, kiranya, dan sebagainya (untuk menyatakan ajakan); jangan (untuk menyatakan larangan); serta mustahil, tidak masuk akal, dan sebagainya (untuk menyatakan keheranan).
No. | Kalimat dalam Teks | Modalitas | Fungsi Modalitas |
---|---|---|---|
1. | Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan orang lebih sering berada dalam situasi tidak resmi sehingga tuntutan untuk selalu berbahasa Indonesia ragam baku itu memang tidak ada. | Memang | Untuk menyatakan kepastian |
2. | Padahal, kalau ditanya siapa yang memberi perhatian dan siapa yang memberi ucapan, pasti tidak ditemukan tanggapan yang benar lantaran -nya dan di mengacu kepada orang ketiga: bukan orang pertama dan kedua | Pasti | Untuk menyatakan kepastian |
3. | Tentu tidak. Mengapa? Karena bunyi iklan yang terakhir itu, di samping tidak mengajari orang berlogika dengan baik, juga sanggup mengecoh dan membodohi konsumen. | Tentu | Untuk menyatakan kepastian |
4. | Sebagai akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak mempunyai kemampuan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. | Tidak | Untuk menyatakan kepastian |
5. | Padahal, kalau ditanya siapa yang memberi perhatian dan siapa yang memberi ucapan, pasti tidak ditemukan tanggapan yang benar lantaran -nya dan di mengacu kepada orang ketiga: bukan orang pertama dan kedua | Bukan | Untuk menyatakan kepastian |
5. | Dalam batas-batas tertentu, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar mungkin masih sanggup dimaklumi. | Mungkin | Untuk menyatakan kesangsian |
6. | Semua orang mungkin sepakat bahwa iklan yang berbunyi: Terus terang, … terang terus, misalnya, yakni contoh kreativitas berbahasa yang berestetika tinggi. | Mungkin | Untuk menyatakan kesangsian |
7. | Rupanya, di sinilah letak persoalannya. Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya mempunyai satu warna/ ragam. | Rupanya | Untuk menyatakan kesangsian |
8. | Padahal, kalau ditanya siapa yang memberi perhatian dan siapa yang memberi ucapan, pasti tidak ditemukan tanggapan yang benar lantaran -nya dan di mengacu kepada orang ketiga: bukan orang pertama dan kedua yang sedang berdialog, baik dalam surat maupun pidato. | Baik | Untuk menyatakan ajakan |
9. | Betapa tidak, seandainya tangan konsumen tiba-tiba gatal-gatal atau bahkan melepuh sesudah menggunakan produk yang diiklankan itu, perusahaan pembuat produk itu pun akan sanggup lepas tanggung jawab atas tuntutan konsumen lantaran bunyi iklannya memang tidak menjanjikan sanggup melindungi apa pun, apalagi tangan konsumen. | Memang | Untuk menyatakan kepastian |
10. | Sebagai akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak mempunyai kemampuan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. | Tidak | Untuk menyatakan kepastian |
Teks opini memuat pendapat atau pandangan penulis yang biasanya diterbitkan pada media cetak. Dalam sebuah teks opini terkandung subjektivitas, tidak hanya fakta belaka. Dalam sebuah media cetak, artikel opini, surat pembaca, dan tajuk planning merupakan jenis teks opini. Artikel opini dan surat pembaca merupakan pendapat pembaca terhadap suatu masalah, peristiwa, atau insiden tertentu. Sedangkan tajuk rencana, atau dikenal juga dengan istilah editorial merupakan opini atau pendapat redaksi media cetak tersebut terhadap kasus aktual, fenomenal, atau kontroversial yang berkembang di masyarakat. Opini yang ditulis pihak redaksi diasumsikan mewakili redaksi sekaligus mencerminkan pendapat dan perilaku media yang bersangkutan. Berbeda dengan artikel opini yang ditulis pembaca, sebuah tajuk planning tidak mencantumkan nama penulisnya lantaran merupakan bunyi lembaga.
Perhatikan secara saksama teks “Menjual Sembari Menjaga Nirwana” dan “Tentang Baik dan Benar”. Teks "Menjual Sembari Menjaga Nirwana" merupakan teks editorial lantaran tidak mencantumkan nama penulis (Sumber: Tempo, 18—24 November 2013). Sedangkan teks "Tentang Baik dan Benar" merupakan opini lantaran ditulis oleh: Agus Sri Danardana.
No comments:
Post a Comment