Thursday, March 26, 2020

Teks Genre Makro Membenahi Sistem Transportasi Jabodetabek

Genre merupakan organisasi atau sistem yang memformulasikan bentuk-bentuk bahasa untuk mengemban kiprah atau fungsi sosial. Genre sendiri terbagi menjadi dua jenis: genre makro dan genre mikro. Peristiwa komunikasi menyerupai wawancara, berita, artikel jurnal, surat pembaca, surat lamaran kerja, percakapan telepon, percakapan dokter dengan pasien sanggup dikatakan sebagai genre wawancara, genre berita, genre artikel jurnal, genre surat pembaca, genre surat lamaran kerja, genre percakapan telepon, genre percakapan dokter dengan pasien. Nama-nama genre tersebut dikenal dengan genre makro.

Sementara itu, penceritaan, prosedur, deskripsi, laporan, eksplanasi, eskposisi, diskusi, dan eksplorasi disebut genre mikro. Teks genre mikro tersebut merupakan pecahan dari teks genre makro. Genre sebagai proses sosial yang berorientasi kepada tujuan yang dicapai secara sedikit demi sedikit dipakai untuk berkomunikasi dengan orang lain. Beberapa teks genre mikro yang telah dipelajari pada kelas sebelumnya antara lain adalah.

A. Teks Cerita Ulang (Kleas XI)
Cerita ulang ialah teks yang menceritakan suatu peristiwa, kegiatan, atau insiden yang telah dilakukan atau diamati. Struktur kisah ulang terdiri dari 3 bagian, yaitu:
  1. Orientasi berupa informasi mengenai apa, siapa, di mana, kapan dan mengapa.
  2. Isi teks yaitu berupa rentetan insiden atau kejadian.
  3. Reorientasi ialah pecahan final teks yaitu berupa kesimpulan atas kejadian-kejadian yang terdapat dalam cerita.

B. Teks Laporan Hasil Observasi (Kelas X)
Teks Laporan Observasi ialah teks yang menghadirkan informasi perihal sesuatu menyerupai alam, hewan, tumbuhan, hasil karya manusia, dan fenomena sosial dengan apa adanya. Informasi yang dihadirkan dalam teks laporan ialah hasil dari observasi dan analisis secara sistematis. Tujuan komunikatif dari teks laporan ialah memberikan informasi perihal sesuatu, apa adanya, sebagai hasil pengamatan sistematis atau analisis. Struktur teks Laporan Hasil Observasi ialah sebagai berikut.
  1. Pernyataan umum atau klasifikasi
  2. Anggota/aspek yang dilaporkan

C. Teks Eksposisi (Kelas X)
Teks eksposisi ialah sebuah teks yang sanggup menceritakan pendapat eksklusif terhadap suatu permasalahan menyerupai sebuah proposal di dalamnya terdapat informasi yang bertujuan untuk memengaruhi pembaca.. Tujuan teks eksposisi ialah untuk memaparkan atau menjelaskan sesuatu semoga pengetahuan pembaca bertambah. Orang memakai teks eksposisi untuk mengusulkan sesuatu kepada pihak lain. Struktur teks eksposisi terdiri dari.
  1. Pernyataan pendapat (tesis)
  2. Argumentasi
  3. Penegasan ulang pendapat
 Genre merupakan organisasi atau sistem yang memformulasikan bentuk Teks Genre Makro Membenahi Sistem Transportasi Jabodetabek
Pada teks berjudul “Membenahi Sistem Transportasi Jabodetabek” sanggup dibedah strukturnya menurut teks yang pernah dipelajari di kelas ini dan kelas-kelas sebelumnya. Berikut ini struktur teks Membenahi Sistem Transportasi Jabodetabek.
TeksStruktur Teks
Membenahi Sistem Transportasi JabodetabekJudul
Cerita UlangLaporanEksposisi
Minggu ini saya membaca tiga tulisan, yaitu publikasi Bank Dunia yang gres diluncurkan dua pekan kemudian berjudul “Planning, Connecting Financing Cities-Now-Priorities for City Leaders” (PCFC), buku Behavioral Economics and Policy Design: Examples from Singapore (BEPD), dan laporan final perihal Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (JUTPI) Project. Laporan terakhir berisi revisi dari Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek, yang dibentuk oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk Kementerian Koordinator Perekonomian dan Bappenas.OrientasiPernyataan
umum/
klasifikasi
Pernyataan pendapat (tesis)
Secara ringkas, ketiga laporan tebal itu berisi: pertama, sistem transportasi di Jabodetabek sudah jauh tertinggal, sementara kasus dan tantangannya semakin kompleks untuk ditangani. Survei pada 2010 mencatat total penumpang perjalanan sudah mencapai kuranglebih 73 juta, yang terdiri atas 58 juta motorized person trips dan 15 juta non–motorized modes. Angka itu diperkirakan mencapai 81 juta pada 2020. Penanganan yang harus dilakukan tidak hanya pada pengembangan sistem transportasi, tapi juga terkait dengan master plan perkotaan (RT/RW) di Jabodetabek.IsiAnggota/
aspek
yang dilaporkan
Argumentasi
Kedua, penanganan transportasi harus terintegrasi dan komprehensif. Kita tidak punya kemewahan lagi untuk memilih. Semua harus dibangun secara bersamaan. Jabodetabek semakin terintegrasi sehingga penanganan sistem transportasi tidak bisa hanya bertumpu pada pemerintah DKI Jakarta tapi juga melibatkan pemerintah kawasan di sekitarnya.
Ketiga, ruang untuk policy mistake sangat terbatas, sehingga kebijakan publik yang menjawab dilema kasus transportasi harus terdesain dengan baik dan sanggup menjawab dilema dengan tepat. Pengalaman Singapura menyerupai yang digambarkan dalam pecahan III buku BEPD, sanggup kita jadikan pelajaran penting.
Dengan kesimpulan itu, ribut-ribut perihal perlu-tidaknya membangun enam ruas jalan tol di dalam kota, mass rapid transit (MRT), dan sistem monorel menjadi tidak relevan. Yang lebih relevan ialah bagaimana segera mewujudkan proyek-proyek tersebut dan melengkapi dengan sejumlah daftar panjang proyek dan agenda kelembagaan yang harus segera dibangun menurut master plan JUTPI. Tidak perlu studi aksesori lagi karena puluhan studi serupa telah dilakukan dan kesimpulannya tidak banyak berbeda.
Kompleksnya permasalahan transportasi di Jakarta tidak lepas dari sistem insentif yang salah-kebijakan yang berlaku kini ini-yang telah mengakibatkan respons yang tidak efisien, baik dari sisi seruan maupun penawaran. Dari sisi permintaan, misalnya, harga materi bakar minyak dengan subsidi yang sangat besar telah mengakibatkan bias kepada sistem angkutan pribadi-baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Akibatnya, jumlah kendaraan roda empat meningkat dua kali dari hanya 1 juta pada 2000 menjadi 2 juta pada 2010.
Peningkatan lebih dramatis terjadi pada sepeda motor, yang meningkat hampir lima kali lipat dalam periode yang sama, dari 1,6 juta (2000) menjadi 7,5 juta (2010). BBM bersubsidi mengakibatkan ongkos perjalanan kendaraan eksklusif menjadi terdistorsi, yang kemudian mengakibatkan perjalanan yang tidak efisien. Contohnya, mahasiswa saya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia memakai kendaraan beroda empat sendiri walaupun kakaknya kuliah di Fakultas Teknik UI.
Distorsi juga terlihat dari proporsi penggunaan kereta api oleh penduduk Jakarta. Survei JUTPI menunjukkan hanya 0,3 persen penumpang Jakarta yang memakai kereta api. Bandingkan dengan penumpang dari Depok-Bogor yang 13 persen, Tangerang 5 persen, Bekasi 3 persen. Sekitar 60 persen penduduk Jakarta memakai sepeda motor, sisanya memakai kendaraan roda empat 24 persen dan bus 22 persen.
Survei juga menunjukkan penurunan penggunaan kendaraan bus di antara komuter di Jabodetabek. Pada 2002, sebanyak 38 persen komuter memakai bus, pada 2010 turun menjadi hanya 13 persen. Penurunan ini dikompensasikan dengan kenaikan angka penggunaan sepeda motor sebesar 21 persen pada 2002 menjadi 48,7 persen pada 2010.
Penurunan ini, selain disebabkan oleh distorsi harga relatif antarmoda transportasi yang diceritakan di atas, karena tarif kendaraan umum terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan pemilik kendaraan  umum memelihara dan memodernisasi kendaraan; pasokan efektif kendaraan umum turun karena bus mogok atau sparepart dikanibal untuk dipakai di kendaraan lain yang masih bisa jalan; serta kualitas pelayanan memburuk, penumpang mensubtitusi moda transportasi. Implikasi lanjutannya lebih jelek lagi. Jumlah penumpang per kendaraan pun menurun dan membuat bisnis angkutan kota menjadi semakin tidak menarik.
Perubahan sistem intensif menjadi syarat (necessary condition) dalam menuntaskan kasus transportasi. Kita harus membuat biaya perjalanan dengan kendaraan pribadi, termasuk sepeda motor, menjadi lebih mahal dengan mencabut subsidi BBM. Hal ini semakin dibutuhkan mengingat kita perlu menaikkan tarif kendaraan umum semoga pemilik angkutan umum sanggup memelihara kendaraannya sehingga layak ditumpangi.
Pemetaan dan proyeksi komuter di Jabodetabek menunjukkan bahwa modernisasi dan pengembangan kendaraan umum harus menjadi prioritas. Master Plan Sistem Transportasi Jakarta 2030 menunjukkan asumsi respons sisi penawaran yang optimistis pun belum bisa mengatasi aksesori permintaan. Perkiraan optimistis ini mengasumsikan akan ada lima MRT line, termasuk jalur Lebak Bulus-Kampung Bandan, plus beroperasinya secara efektif kereta lingkar Jakarta dan monorel.
Dengan aksesori busway dan modernisasi kendaraan umum, dibutuhkan porsi penumpang yang sanggup ditampung dengan bus dan kereta terhadap total penduduk Jabodetabek bisa ditingkatkan menjadi dua kali dari 17,2 persen (2010) menjadi 36,2 persen pada 2020 dan 2030. Kebutuhan yang mendesak ini membuat pelaksanaan pembangunan MRT tahap pertama tak boleh ditunda lagi. Semakin usang kita menunda, oportunity costs dari penundaan ini bisa melebihi dugaan perbedaan ongkos pembangunan MRT yang dianggap mahal. Di samping menambah jalur rel kereta api dan busway, perlu penataan sistem trayek serta perubahan sistem kelembagaan dalam angkutan bus. Perubahan sistem kelembagaan ini juga tidak gampang dan niscaya memakan banyak energi.Penegasan ulang pendapat
Dengan aksesori busway dan modernisasi kendaraan umum, dibutuhkan porsi penumpang yang sanggup ditampung dengan bus dan kereta terhadap total penduduk Jabodetabek bisa ditingkatkan menjadi dua kali dari 17,2 persen (2010) menjadi 36,2 persen pada 2020 dan 2030.
Kebutuhan yang mendesak ini membuat pelaksanaan pembangunan MRT tahap pertama tak boleh ditunda lagi. Semakin usang kita menunda, oportunity costs dari penundaan ini bisa melebihi dugaan perbedaan ongkos pembangunan MRT yang dianggap mahal. Di samping menambah jalur rel kereta api dan busway, perlu penataan sistem trayek serta perubahan sistem kelembagaan dalam angkutan bus. Perubahan sistem kelembagaan ini juga tidak gampang dan niscaya memakan banyak energi.
Jika sistem transportasi umum hanya sanggup meliputi 36 persen penumpang, ke mana sisanya? Sisanya tetap mengandalkan kendaraan pribadi, apakah roda empat atau roda dua. Hal ini berarti road ratio di Jabodetabek harus bisa ditingkatkan. Di Jakarta, misalnya, road ratio harus sanggup ditingkatkan dari 8,1 persen (2010) menjadi 8,7 persen (2020) dan 9,1 persen (2030). Hal ini berarti harus ada aksesori 780 kilometer jalan di Jakarta sampai 2020 dan 480 kilometer jalan pada 2030.
Kesulitan pengadaan tanah mengakibatkan pilihan yang paling mungkin ialah membangun jalan layang. Pertanyaannya: yang dibangun itu jalan tol atau non-tol? Terdapat perbedaan besar antara membangun jalan tol dan non-tol, terutama dari sumber pembiayaan dan sikap masyarakat dalam mendorong aksesori kemudian lintas. Sumber pembiayaan untuk membangun jalan layang nontol hanya terbatas pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Membangun jalan non-tol, menyerupai jalan non-tol Antasari, membuat sebagian APBD harus disisihkan. Artinya, porsi APBD untuk pengembangan angkutan umum akan berkurang. Hal ini terperinci tidak konsisten dengan master plan.
Sebaliknya, pembiayaan jalan tol akan berasal dari swasta dan tidak mengganggu APBD. Dengan mensyaratkan penggunaan jalan tol dalam kota bagi kendaraan umum berarti sebagian kebutuhan aksesori jalur busway, yang harus meningkat dua kali pada 2020, sanggup dipenuhi dengan menumpang jalan tol. Artinya, kebutuhan APBD untuk pengembangan sistem angkutan umum pun berkurang. Sekali mendayung, dua pulau terlampaui.
Pemungutan tol untuk jalan layang juga akan merasionalkan kemudian lintas perjalanan. Ilmu ekonomi tingkah laris (behavioral economics) yang dipakai pemerintah Singapura dalam menentukan sistem electronic road pricing (ERP) ketimbang opsi lain menunjukkan bahwa respons pengendara akan berbeda secara signifikan kalau dihadapkan pada dua pilihan: berbayar atau gratis. Mengutip studi yang dilakukan Kristina Shampinier dkk (2007) dalam jurnal Marketing Science Volume 26 Nomor 6, manyarakat akan menentukan yang gratis, walaupun dihadapkan pada pilihan lain yang menarik. Implikasinya, membangun jalan non-tol akan mendorong kenaikan kemudian lintas jauh lebih cepat dibanding jalan tol.
Ilmu ekonomi tingkah laris memberi pelajaran penting bagi kebijakan publik lain. Sistem genap-ganjil akan berakhir menyerupai sistem 3 in 1, yang diakali masyarakat dengan banyak sekali cara, termasuk mendorong peningkatan pemilikan roda empat. Sebaliknya, sistem ERP akan mensugesti cash flow keluarga sehari-hari dan akan mendorong rasionalisasi penggunaan kendaraan umum.
Pembenahan sistem transportasi Jabodetabek meliputi pula pricing policy yang tepat. Penetapan tarif MRT yang terlalu murah bisa jadi tidak akan mendorong pengendara roda empat untuk berpindah ke kendaraan umum. Mereka tidak mau berdesakan dengan penumpang lain. Analisis sikap konsumen secara sempurna perlu menjadi pertimbangan. Niat baik seringkali membuat hasil jelek kalau implementasi tidak tepat.Reorientasi
Sumber:Tempo, 10 Februari 2013 halaman 98-99Sumber

No comments:

Post a Comment