Wednesday, October 2, 2019

Pintar Pelajaran Perekonomian Terbuka Dan Perdagangan Internasional, Manfaat, Tujuan, Fungsi, Teori, Faktor Pendorong, Kebijakan, Devisa, Valuta Asing, Cara Pembayaran

Perekonomian Terbuka dan Perdagangan Internasional, Manfaat, Tujuan, Fungsi, Teori, Faktor Pendorong, Kebijakan, Devisa, Valuta Asing, Cara Pembayaran - Dalam kehidupan sehari-hari, Anda mungkin pernah melihat orang berjualan atau berdagang di suatu tempat, bukan? Perdagangan pada hakikatnya ialah sebuah pertukaran. Perdagangan internasional tidak berbeda dengan pertukaran antara dua orang di dalam satu negara. Perbedaannya dalam perdagangan internasional orang yang satu kebetulan berada atau tinggal di negara lain. Di dalam perekonomian dunia yang semakin global, bisa dikatakan tidak ada lagi negara yang melaksanakan perekonomian autarki (perekonomian tanpa perdagangan internasional).

Pada pecahan ini, Anda akan mendapat materi perekonomian terbuka yang menjelaskan wacana perdagangan internasional, devisa, dan tujuan penggunaannya.

A. Manfaat, Teori, dan Faktor-Faktor Pendorong Perdagangan Internasional


1.1. Manfaat Perdagangan Internasional


Perkembangan kegiatan perekonomian suatu negara akan mengalami perubahan, baik dari tingkat kompleksitas duduk perkara yang dihadapi maupun sistem perekonomian yang digunakan. Kenyataannya tidak ada satu negara pun yang menganut sistem perekonomian secara tertutup (tidak melibatkan pihak luar negeri dalam kegiatan perekonomian). Hampir semua negara telah melaksanakan kolaborasi di dalam kegiatan perekonomian, artinya keterlibatan rumah tangga luar negeri diharapkan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak sanggup dipenuhi di dalam negeri. Sistem perekonomian menyerupai inilah yang dikenal dengan sistem perekonomian terbuka.

Dalam arti sempit, perekonomian terbuka (open economic) berarti adanya peranan perdagangan internasional yang cukup besar (di atas 20% PDB) di dalam perekonomian suatu negara. Perdagangan internasional sanggup didefinisikan sebagai per dagangan antar atau lintas negara, yang meliputi ekspor dan impor barang dan jasa.

Perdagangan internasional, penting bagi sebuah negara, yakni sebagai motor penggagas pertumbuhan ekonomi negara. Melalui perdagangan internasional pemerintah suatu negara berupaya mengoptimalkan manfaat korelasi biar kinerja perekonomian menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Secara umum, manfaat yang sanggup diperoleh dari adanya perdagangan internasional dalam sebuah perekonomian, yaitu sebagai berikut.

a. Menambah Devisa Negara

Perdagangan internasional, terutama dari hasil penerimaan ekspor merupakan sumber devisa negara yang terpenting.

b. Meningkatkan Produksi di Dalam Negeri

Perdagangan internasional mempunyai imbas eksklusif terhadap pertumbuhan produksi di dalam negeri, terutama bagi negara-negara yang ekonomi atau produksi mereka berorientasi ke pasar eksternal, menyerupai Asia Tenggara dan Asia Timur.

c. Memperluas Kesempatan Kerja

Perdagangan internasional sanggup meningkatkan kesempatan kerja akhir adanya pertumbuhan produksi di dalam negeri yang mengharuskan perusahaan untuk menambah faktor produksi tenaga kerja.

d. Realokasi Sumber Daya Produksi

Dengan adanya kesempatan ekspor, semua faktor produksi dari perusahaan dipakai secara optimal dengan cara direalokaskan ke industri-industri yang melaksanakan ekspor.

e. Adanya Diversifikasi Produk

Perdagangan internasional sanggup meningkatkan diversifikasi produk. Misalnya, sebelum berorientasi ke pasar ekspor, sektor industri di dalam negeri hanya memproduksi jenis barang konsumsi sederhana saja. Akan tetapi sesudah membuka cabang di luar negeri jenis produksinya bertambah banyak tidak hanya meliputi barang konsumsi sederhana saja.


Teori perdagangan internasional dikelompokkan menjadi dua, yaitu teori klasik dan teori modern. Teori klasik ialah teori keunggulan mutlak atau adikara dari Adam Smith dan teori keunggulan komparatif atau keunggulan relatif dari David Ricardo dan John Stuart Mill. Adapun teori modern ialah teori yang dikemukakan oleh Hecksher dan Ohlin (Teori H-O) mengenai ketersediaan faktor produksi (factor endowment).

1.2.1. Teori Klasik

1) Teori Keunggulan Mutlak

Teori keunggulan mutlak dari Adam Smith dikenal sebagai teori murni perdagangan internasional. Inti dari teori ini adalah:

Suatu negara akan melaksanakan spesialisasi terhadap ekspor suatu jenis barang tertentu, yang negara tersebut mempunyai keunggulan mutlak (absolute advantage) dan tidak memproduksi atau melaksanakan impor jenis barang lain yang negara tersebut tidak mempunyai keunggulan mutlak (absolute disadvantage) terhadap negara lain yang memproduksi barang sejenis. Dengan kata lain, suatu negara akan mengekspor (mengimpor) suatu jenis barang, kalau negara tersebut sanggup (tidak dapat) memproduksinya lebih dan efisien atau lebih murah dibandingkan negara lain.

Contoh :

Ada dua negara, yaitu Indonesia dan Jepang. Kedua negara tersebut mengadakan korelasi dibidang perdagangan internasional. Adapun jenis barang yang diperdagangkan, yaitu kain dan televisi. Perbandingan hasil produksi kedua negara tersebut sanggup dilihat pada Tabel 1. berikut.

Tabel 1. Keunggulan Mutlak suatu Negara dalam Memproduksi Barang

Negara

Jam Kerja per Satuan Output
Dasar Tukar
dalam Negeri
Kain (meter)
Televisi (unit)
Indonesia
60
30
1 meter kain = 1/2 unit televisi
Jepang
20
60
1 meter kain = 3 unit televisi

Berdasarkan Tabel 1. dengan memakai jam kerja yang sama, ternyata Indonesia sanggup menghasilkan kain lebih banyak daripada Jepang, yaitu sebanyak 60 meter. Adapun Jepang lebih banyak menghasilkan televisi daripada Indonesia, yaitu 60 unit. Dengan demikian sanggup disimpulkan Indonesia mempunyai keunggulan mutlak dalam memproduksi kain. Adapun Jepang mempunyai keunggulan mutlak dalam memproduksi televisi. Oleh lantaran itu, perdagangan Internasional antara Indonesia dan Jepang sanggup dilakukan dengan cara Indonesia mengekspor kain ke Jepang dan sebaliknya, Jepang mengekspor televisi ke Indonesia.

Dalam teori klasik, tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor produksi yang berdiri sendiri, sedangkan kapital tidak. Artinya, kedua faktor produksi tersebut tidak sanggup disubstitusikan. Kapital ditambah, tanpa menambah tenaga kerja, volume produksi tidak terpengaruh. Jadi, korelasi antara kedua faktor produksi tersebut sifatnya komplementer dalam suatu rasio yang tetap. (Sumber: Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran, Tulus Tambunan 2000)

2) Teori Keunggulan Relatif atau Komparatif

Teori keunggulan komparatif dari David Ricardo (1772-1823) dan John Stuart Mill (1806-1873) sanggup dianggap sebagai kritik sekaligus penyempurnaan atas teori keunggulan mutlak dari Adam Smith.

Menurut Teori Keunggulan Komparatif suatu negara akan mengkhususkan diri pada ekspor barang tertentu, apabila negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif (comparative advantage) terbesar, dan akan mengkhususkan diri pada impor barang, apabila negara tersebut mempunyai kerugian komparatif (comparative disadvantage). Dengan kata lain, suatu negara akan melaksanakan ekspor barang, kalau barang tersebut sanggup diproduksi dengan biaya lebih rendah, dan akan melaksanakan impor, kalau barang tersebut diproduksi dengan biaya lebih tinggi.

Contoh :

Ada dua negara, yaitu Indonesia dan Bangladesh, dan terdapat dua jenis barang, yaitu beras dan kain. Di Indonesia untuk memproduksi 1 unit beras seseorang hanya membutuhkan 9 hari kerja, dan untuk memproduksi satu 1 unit kain diharapkan waktu 3 hari kerja. Di Bangladesh, untuk memproduksi 1 unit beras dan 1 unit kain diharapkan masing-masing waktu 12 dan 18 hari kerja.

Tabel 2. Keunggulan Komparatif suatu Negara dalam Memproduksi Barang

Negara

Produksi: Jumlah Jam Kerja per Unit
Dasar Tukar dalam Negeri
Beras (ton)

Kain (meter)
Indonesia
9
3
1 meter kain = 3 ton beras
1 ton beras = 0,33 meter kain
Bangladesh
12
18
1 meter kain = 0,67 ton beras
1 ton beras = 1,5 meter kain

Menurut Adam Smith, perdagangan internasional antara kedua negara tidak akan terjadi, lantaran Indonesia mempunyai keunggulan mutlak atas beras maupun kain, sehingga akan lebih murah bagi Indonesia untuk menukar atau mendapat kedua barang tersebut di dalam negeri. Namun, berdasarkan David Ricardo, perdagangan internasional yang saling menguntungkan antara kedua negara akan tetap terjadi selama masih ada perbedaan biaya relatif dalam memproduksi kedua barang tersebut.

Dari Tabel 2. terlihat bahwa Bangladesh mempunyai keunggulan untuk kedua produk tersebut sehingga tidak memungkinkan terjadi perdagangan antara Indonesia dan Bangladesh. Namun, secara komparatif masih memungkinkan terjadinya perdagangan dengan melihat dasar tukar dalam negeri masing-masing. Indonesia untuk memproduksi 1 meter kain harus mengorbankan 3 ton beras dan untuk memproduksi 1 ton beras harus mengorbankan 0,33 meter kain. Indonesia mempunyai keunggulan komparatif pada beras lantaran pengorbanannya lebih kecil. Bangladesh untuk memproduksi 1 meter kain harus mengorbankan 0,67 ton beras dan untuk memproduksi 1 ton beras harus mengorbankan 1,5 meter kain. Bangladesh mempunyai keunggulan komparatif pada kain lantaran pengorbanannya lebih kecil. Dengan demikian, berdasarkan perhitungan tersebut masih memungkinkan bagi kedua negara untuk melaksanakan kerjasama perdagangan internasional.

Dalam teori klasik mengenai perdagangan internasional, harga merupakan penentu satu-satunya tingkat keunggulan negara dalam memproduksi suatu barang tertentu. Dengan kata lain, faktor-faktor lain, menyerupai kualitas, bentuk, ketahanan produk (durability), dan lain-lain tidak berperan sama sekali. (Sumber: Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran, Tulus Tambunan 2000)

1.2.2. Teori Modern

Teori wacana faktor-faktor yang memilih pola perdagangan suatu negara lahir di Swedia, yaitu Eli Heckscher. Ia seorang pakar sejarah ekonomi Swedia yang membuatkan suatu gagasan penting dalam artikelnya yang singkat pada 1919. Penjelasan lengkap wacana artikel tersebut, dikembangkan dan dipublikasikan pada 1933 oleh anak didik Heckscher, yaitu Bertil Ohlin. Mereka berdua menciptakan suatu teori berdasarkan pandangan Ricardo yang membuatkan model berdasarkan aspek kepemilikan faktor produksi. Oleh lantaran itu, teori Heckscher dan Ohlin (Teori H-O) disebut juga teori ketersediaan faktor (factor endowment theory) yang menyatakan, bahwa:

Komoditas-komoditas yang dalam produksinya memerlukan faktor produksi (yang melimpah) dan faktor produksi (yang langka) diekspor untuk ditukar dengan komoditas yang membutuhkan faktor produksi dalam proporsi yang sebaliknya. Makara secara tidak eksklusif faktor produksi yang melimpah diekspor dan faktor produksi yang langka diimpor. Dengan kata lain, suatu negara cenderung untuk mengekspor barang yang memakai faktor produksi relatif melimpah di negara tersebut, dan akan mengimpor barang yang memakai faktor produksi relatif langka.

Suatu negara dikatakan melimpah dalam faktor produksi contohnya tenaga kerja apabila negara tersebut mempunyai rasio tenaga kerja terhadap faktor lainnya yang lebih besar daripada yang dimiliki oleh negara-negara lainnya di dunia. Suatu barang disebut padat karya kalau biaya tenaga kerja merupakan pecahan terbesar dari nilai barang tersebut dibandingkan yang dipakai dalam barang lainnya. Contoh, Indonesia dan Jepang melaksanakan perdagangan dengan menjual produk motor dan tabrakan kayu. Secara teknis, produk motor lebih bersifat padat modal (capital intensive), sedangkan tabrakan kayu lebih bersifat padat karya (labor intensive).

Di Jepang terdapat banyak barang modal, sementara tenaga kerja langka. Sebaliknya di Indonesia barang modal langka, sedangkan tenaga kerja berlimpah, maka Jepang akan mengekspor motor dan Indonesia akan mengekspor tabrakan kayu.

Berdasarkan pola tersebut, Teori H-O menerka bahwa kalau Indonesia mengekspor tabrakan kayu dan mengimpor motor, tabrakan kayu merupakan komoditas yang memakai faktor produksi tenaga kerja secara intensif dan motor memakai faktor produksi modal secara intensif, sehingga dalam kondisi demikian, biaya tenaga kerja di Indonesia lebih murah daripada di Jepang. Murahnya tenaga kerja akan mengurangi biaya pembuatan tabrakan kayu daripada pembuatan motor. Sebaliknya, langkanya modal di Indonesia, seharusnya menjadikan produksi motor relatif mahal.

Menurut teori H-O ini terjadi lantaran perbedaan dalam pemilikan faktor produksi secara relatif serta pola intensitas faktor produksi yang menciptakan Indonesia mengekspor tabrakan kayu dan mengimpor motor dari Jepang (bukan mengekspor motor dan mengimpor tabrakan kayu dari Jepang).

Teori klasik maupun teori modern, mempunyai beberapa kelemahan dalam asumsinya, antara lain menganggap bahwa semua tenaga kerja itu homogen. Dalam kenyataannya tenaga kerja berbeda baik dalam pendidikan maupun keahliannya. Selain itu, teori-teori tersebut mengabaikan pentingnya teknologi dalam perdagangan internasional.

Keunggulan kompetitif merupakan paradigma gres di dalam perdagangan internasional. Menurut paradigma gres perdagangan internasional ini, keunggulan suatu negara dalam perdagangan internasional tidak hanya lantaran keunggulan mutlak atau komparatif saja, tetapi juga oleh faktor-faktor keunggulan kompetitif (daya saing) yang dimiliki oleh suatu negara beserta individu dan perusahaan-perusahaan yang ada dalam suatu negara. Keunggulan kompetitif yang dimaksud, antara lain teknologi dan tingkat kewirausahaan yang tinggi, tingkat efisiensi atau produktivitas yang tinggi dalam proses produksi, kualitas yang baik dari materi yang diproduksi, promosi yang meluas dan agresif, SDM yang berkualitas, dan pelayanan purna jual yang memuaskan.

1.3. Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Perdagangan Internasional


Motif untuk melaksanakan perdagangan internasional ialah lantaran adanya manfaat dari perdagangan (gain from trade) yang diperoleh kedua negara. Menurut para ekonom, penyebab utama dari perdagangan internasional terletak pada sisi produksi, yaitu lantaran suatu negara bisa menghasilkan barang tertentu secara lebih efisien dari pada negara lain.

Beberapa faktor yang sanggup mendorong terjadinya perdagangan internasional, yaitu sebagai berikut.
  1. Setiap negara tidak sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri.
  2. Setiap negara akan memperoleh laba dari perdagangan internasional dibandingkan barang yang diproduksi sendiri di dalam negeri.
  3. Setiap negara mempunyai perbedaan biaya produksi untuk memproduksi barang tertentu.
  4. Setiap negara mempunyai sumber daya alam yang berbeda.
Faktor-faktor lain penyebab perdagangan internasional, yaitu sebagai berikut.

a. Teori Permintaan dan Penawaran

Perdagangan internasional terjadi lantaran adanya perbedaan permintaan dan penawaran antara dua negara. Perbedaan permintaan disebabkan adanya perbedaan tingkat pendapatan dan selera masyarakat. Adapun perbedaan penawaran, antara lain disebabkan adanya perbedaan kualitas dan kuantitas faktor-faktor produksi yang dimiliki kedua negara.

b. Vent of Surplus

Konsep ini berasal dari Adam Smith. Menurut Smith, perdagangan internasional terjadi lantaran adanya daerah gres yang lebih luas bagi pasar produk dalam negeri. Sumber-sumber dalam negeri yang semula berlebih (surplus) kini memperoleh jalan masuk (vent) untuk bisa dimanfaatkan.

c. Teori Siklus Produk

Menurut teori siklus produk dari Vernon (1996) dan Hirsch (1967) kemudian, dikembangkan oleh Williamson (1983) perdagangan internasional sanggup terjadi lantaran adanya dinamika keunggulan komparatif dari suatu produk atau industri. Mengikuti perubahan waktu, setiap produk akan melalui suatu proses dari tahap pengembangan, kejenuhan hingga penurunan produksi. Hal ini, sanggup dijelaskan dalam siklus produk yang terdiri dari empat tahap.

Tahap pertama ialah tahap penemuan atau produk baru, yaitu awal mula suatu produk (proses produksi) yang mempunyai beberapa ciri, antara lain modal investasi yang sangat besar dan proses produksi yang berubah terus-menerus. Selain memerlukan modal besar, diharapkan juga sumber daya insan (SDM) dengan technical skills serta kemajuan teknologi. Oleh lantaran itu, pada umumnya, industri-industri di negara-negara maju yang sanggup melaksanakan tahap ini.

Tahap kedua disebut tahap perluasan (pertumbuhan) produksi. Pada tahap ini, permintaan baik yang bersumber dari dalam negeri maupun internasional meningkat. Produk tersebut mulai diekspor ke negara-negara sedang berkembang. Pola proses produksinya juga berubah dengan mulai menerapkan sistem perakitan sehingga mulai muncul pemasok-pemasok baru, persaingan dalam inovasi, produk, dan kualitas bermetamorfosis persaingan dalam harga. Dalam tahap ini, negara-negara sedang berkembang mulai sanggup bergabung dalam proses produksi, terutama lantaran upah tenaga kerja murah.

Tahap ketiga ialah tahap kejenuhan pasar (maturity), yaitu produk dan proses produksi telah mencapai suatu tingkat tinggi dari kejenuhan lantaran perubahan-perubahan inovatif terhadap produk dan proses produksinya tidak diharapkan lagi. Pada tahap ini persaingan semakin ketat dan produsen tidak lagi sebagai penentu harga (monopoli), tetapi bermetamorfosis price takers. Pada tahap ini, terjadi perpindahan keunggulan komparatif dari negara-negara maju ke negara-negara sedang berkembang, yang harga barang-barang, faktor-faktor produksi, serta materi baku yang di perlukan lebih murah. Menurut Hirsch (1967), negara-negara sedang berkembang mempunyai keunggulan komparatif tidak hanya dalam produksi barang-barang yang padat tenaga kerja, tetapi juga barang barang padat modal yang standar.

Tahap keempat ialah produksi di negara-negara maju menurun lantaran persaingan yang semakin kuat negara-negara sedang berkembang.

Untuk lebih jelasnya perhatikan kurva model siklus produk perdagangan internasional. Kurva 1. memperlihatkan siklus produksi di negara maju. 
 Anda mungkin pernah melihat orang berjualan atau berdagang di suatu tempat Pintar Pelajaran Perekonomian Terbuka dan Perdagangan Internasional, Manfaat, Tujuan, Fungsi, Teori, Faktor Pendorong, Kebijakan, Devisa, Valuta Asing, Cara Pembayaran
Kurva 1. Siklus Produksi Negara Maju (Innovating Country).
Adapun Kurva 2. memperlihatkan siklus produksi di negara sedang berkembang.
 Anda mungkin pernah melihat orang berjualan atau berdagang di suatu tempat Pintar Pelajaran Perekonomian Terbuka dan Perdagangan Internasional, Manfaat, Tujuan, Fungsi, Teori, Faktor Pendorong, Kebijakan, Devisa, Valuta Asing, Cara Pembayaran
Kurva 2. Siklus Produksi Negara sedang Berkembang (Imitating Country).

B. Kebijakan Perdagangan Internasional


Kebijakan perdagangan luar negeri merupakan salah satu dari kebijakan ekonomi makro. Dalam aktivitas, kebijakan ekonomi internasional ialah tindakan atau kebijakan ekonomi pemerintah yang secara eksklusif maupun tidak eksklusif memengaruhi komposisi, arah, serta bentuk perdagangan dan pembayaran internasional. Kebijakan ini tidak hanya berupa tarif atau kuota, tetapi juga meliputi kebijakan pemerintah di dalam negeri yang secara tidak eksklusif mempunyai dampak terhadap perdagangan dan pembayaran internasional menyerupai kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.

Tujuan kebijakan perdagangan luar negeri, yaitu sebagai berikut.
  1. Melindungi kepentingan ekonomi nasional dari dampak buruk/negatif yang berasal dari luar negeri, contohnya dampak inflasi di luar negeri terhadap kestabilan harga di dalam negeri dan dampak resesi ekonomi dunia terhadap pertumbuhan ekonomi melalui ekspor.
  2. Melindungi industri nasional dari persaingan barang-barang impor.
  3. Menjaga keseimbangan neraca pembayaran, sekaligus menjamin persediaan cadangan valas yang cukup, terutama untuk pembayaran impor dan utang luar negeri.
  4. Menjaga kestabilan tingkat pertumbuhan ekonomi.
  5. Meningkatkan lapangan kerja.
Kebijakan perdagangan luar negeri terbagi menjadi dua macam, yaitu kebijakan pengembangan ekspor dan kebijakan impor.

2.1. Kebijakan Substitusi Impor


Tujuan utama kebijakan substitusi impor yaitu membangun sektor industri manufaktur nasional yang kuat. Adapun tujuan-tujuan sekundernya meliputi peningkatan kesempatan kerja (mengurangi pengangguran atau untuk menampung arus tenaga kerja dari sektor pertanian) dan surplus neraca perdagangan atau neraca pembayaran (BOP). Ini berarti surplus cadangan devisa, dengan cara mengurangi ketergantungan ekonomi nasional ter hadap barang-barang impor. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, salah satu cara yang ditempuh pemerintah Indonesia yakni dengan mengenakan bea masuk yang tinggi terhadap barang-barang impor.

Cukup banyak studi empiris mengenai implementasi kebijakan proteksi di Indonesia selama pemerintahan Orde Baru dan dampaknya terhadap perkembangan sektor industri manufaktur ekspor nonmigas nasional, di antaranya penelitian dari Fane dan Phillips (1991) dan Condon dan Fane (1995,1996). Hasil studi dari Condon dan Fane memperlihatkan besarnya proteksi (tarif) nominal (NRP) dan proteksi efektif (ERP) terhadap beberapa sektor ekonomi dan beberapa jenis barang ekspor manufaktur di Indonesia untuk periode 1987, 1990, 1992, dan 1994. Sektor industri manufaktur menikmati proteksi yang paling kuat dibandingkan sektor-sektor primer; walaupun di dalam sektor industri manufaktur itu sendiri besarnya ERP bervariasi antar industri.

Tingkat proteksi yang berbeda antara sektor industri manufaktur dengan sektor-sektor pertanian dan pertambangan sanggup dipahami mengingat bahwa kebijakan pembangunan sektor industri bertujuan untuk membangun atau memperkuat sektor industri manufaktur dan meningkatkan peranannya di dalam perekonomian Indonesia.

Adapun tingkat proteksi yang bervariasi antar kelompok industri atau sub sektor manufaktur sanggup dijelaskan dengan sejumlah teori. Basri dan Hill (1996) telah melaksanakan survei literatur mengenai teori-teori yang mencoba menerangkan pola atau struktur proteksi. Hasil survei itu memperlihatkan bahwa ada tiga model, yang sanggup dipakai untuk menjelaskan kenapa tingkat proteksi berbeda antar industri, yakni the adding machine model, the interest group model, dan the national interest model. The adding machine model menjelaskan bahwa pemerintah berusaha memaksimalkan kemungkinan untuk dipilih kembali. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah akan memberi proteksi lebih kuat kepada industri padat karya lantaran industri tersebut mempunyai potensi calon pemilih yang besar.

Dasar pemikiran dari the interest group model sanggup dijelaskan sebagai berikut. Besarnya tarif proteksi terhadap industri ialah hasil tekanan dari kelompok-kelompok tertentu (interest group), contohnya pemilik industri, distributor pemilik modal, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan biar industri tersebut sanggup berkembang atau survive. Jika, permintaan proteksi disetujui pemerintah mereka akan memberi hak pilih yang menguntungkan pemerintah di dalam pemilihan umum berikutnya.

Asumsi dari the national interest model sebagai berikut. Pemerintah mempunyai suatu policy preference tertentu yang secara normatif konsisten dengan kepentingan negara/bangsa. Misalnya, peningkatan kesempatan kerja, pembangunan sektor industri manufaktur yang kuat, pengembangan teknologi, dan peningkatan ekspor non migas. Preferensi kebijakan ini tercerminkan pada tingkat proteksi yang diberikan kepada industri atau sektor tertentu.

Pemerintah Indonesia mengharapkan bahwa kebijakan substitusi impor akan memberi hasil positif yang besar. Dalam arti Indonesia akan mempunyai sektor industri yang kuat dengan tingkat efisiensi, produktivitas, dan daya saing global yang tinggi. Sektor industri manufaktur yang kuat akan mendukung kinerja ekspor non migas, khususnya manufaktur, yang akan menambah cadangan devisa yang besar bagi Indonesia.

Namun, krisis ekonomi yang terjadi pada final 1997 atau awal 1998 telah menunjukan bahwa ternyata selama pemerintahan Orde Baru, sektor industri manufaktur telah berkembang secara tidak sehat. Walaupun laju pertumbuhan outputnya rata-rata positif setiap tahun, namun sektor tersebut sangat tergantung pada impor, khususnya untuk barang-barang modal dan materi baku yang telah diolah. Kebijakan substitusi impor sebetulnya bermaksud untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor barang-barang manufaktur. Sementara, ekspor manufaktur Indonesia belum berkembang baik. Hal ini sanggup dilihat pada tingkat diversifikasi produk-produk ekspor yang masih rendah dan sebagian besar masih dari kategori teknologi menengah dan rendah.

3.2. Kebijakan Pengembangan atau Promosi Ekspor


Tujuan kebijakan pengembangan ekspor ialah untuk mendukung dan meningkatkan pertumbuhan ekspor. Tujuan ini sanggup dicapai dengan banyak sekali macam kebijakan antara lain menyangkut perpajakan dalam banyak sekali bentuk. Misalnya, pembebasan dan dispensasi pajak ekspor, dan penyediaan kemudahan khusus kredit perbankan bagi eksportir.

Pada pertengahan 1980an, pemerintah mengubah secara sedikit demi sedikit kebijakan perdagangan luar negerinya dari substitusi impor ke promosi ekspor dengan menerbitkan sejumlah paket deregulasi. Hal ini merupakan awal dari reformasi perdagangan yang terus berjalan hingga sekarang, dan intensitasnya bertambah tinggi semenjak krisis ekonomi melanda Indonesia, sebagai konsekuensi dari kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF). Namun, pemerintah mengambil kebijakan dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan ekonomi nasional terhadap ekspor minyak dan beralih ke ekspor non migas dengan industri manufaktur sebagai sektor unggulan.

Di dalam kebijakan gres ini, yang lebih open economy-oriented dibandingkan kebijakan substitusi impor, pemerintah menghilangkan sejumlah non tariff barriers (NTBs), khususnya pembatasan impor secara kuantitatif, dengan tujuan untuk menghilangkan anti-export bias dari rezim perdagangan luar negerinya. Selain itu, pemerintah juga melaksanakan konversi dari kuota ke proteksi dengan tarif, penurunan tarif proteksi secara bertahap, dan memperkenalkan pembebasan dan pengembalian pajak bagi perusahaan-perusahaan eksportir yang mengekspor paling sedikit 85 persen dari jumlah outputnya.

2.3. Paket Deregulasi


Selama bulan Juli 1996 hingga November 1997, ada empat paket deregulasi penting:

1. Deregulasi 4 Juli 1996

Deregulasi ini meliputi antara lain:
  1. pelayanan khusus di bidang kepabeanan dan perpajakan kepada perusahaan-perusahaan tekstil dan produk-produknya (TPT), produk kulit, ganjal kaki, elektronika, dan barang jadi lainnya;
  2. pencabutan investigasi barang ekspor oleh surveyor; dan
  3. penyederhanaan persyaratan dan mekanisme memperoleh SKA (Surat Keterangan Asli) barang ekspor.
2. Deregulasi 7 Juli 1997

Tujuan deregulasi ini untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, yang berarti meningkatkan daya saing global dari barang-barang dalam negeri, serta mewujudkan konsistensi pemerintah pada kesepakatan APEC, AFTA, dan WTO. Deregulasi ini di antaranya meliputi pergantian struktur pajak ekspor CPO (Crude Palm Oil) dan penurunannya dari tarif spesifik menjadi tarif ad-valorem.

3. Deregulasi 3 Oktober 1997

Pemerintah memperlihatkan kemudahan bagi eksportir dan non eksportir yang berperan sebagai pemasok barang atau input pada eksportir. Fasilitas itu berupa semacam dana talangan yang diberikan Bank Indonesia melalui sistem perbankan, dengan tingkat suku bunga hanya sebesar 1 persen di atas SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate).

4. Deregulasi 3 November 1997

Fasilitas ekspor yang diberikan mencakup:
  1. penambahan kelompok/jenis komoditas cakupan Perusahaan Eksportir Tertentu (PET);
  2. standar konversi penggunaan materi baku/penolong;
  3. penurunan bea masuk atas sejumlah produk dan pajak ekspor;
  4. penghapusan PPh atas impor emas batangan untuk menghasilkan barang perhiasan untuk tujuan ekspor;
  5. pengenaan PPN nol persen untuk ekspor tidak langsung; dan
  6. pemberian kelonggaran pengeluaran komponen hasil olahan dari pengusaha di Kawasan Berikat ke daerah pabean Indonesia lainnya.
Selama tahun 1997, untuk mendukung kebijakan pemerintah tersebut, Bank Indonesia juga telah memperlihatkan kemudahan berupa:
  1. swap bagi para eksportir yang mempunyai valas atau mempunyai tagihan dalam valas; dan
  2. foreword buying untuk keperluan impor dalam rangka ekspor.
Selain itu, semenjak 1996 pemerintah telah memperlihatkan kemudahan wesel ekspor berjangka dengan persyaratan yang lebih menarik kepada eksportir. Di samping itu, kepada pemasok barang pada Perusahaan Eksportir Tertentu (PET), diberikan kemudahan untuk pembiayaan pengadaan barang di dalam negeri dalam bentuk pembelian secara diskonto Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN atau L/C Lokal). Selain itu, insentif lainnya yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan eksportir ialah pembangunan export processing zones, tax holidays, kredit khusus untuk ekspor, dan abolisi pajak untuk training dan penelitian dan pengembangan.

Tetapi, walaupun pemerintah telah menerbitkan sejumlah paket deregulasi semenjak pertengahan 1980an, proteksi terhadap sejumlah industri di dalam negeri masih tinggi dan antiekspor bias di dalam rezim perdagangan luar negeri Indonesia masih belum hilang sepenuhnya (World Bank, 1996).

Namun demikian, sesuai kesepakatan pemerintah Indonesia dengan IMF untuk mempercepat reformasi ekonomi, termasuk di bidang perdagangan luar negeri, dan untuk mewujudkan konsistensi pemerintah pada kesepakatan-kesepakatan APEC, AFTA, dan WTO mengenai perdagangan bebas, proteksi dan hambatan-hambatan terhadap ekspor di Indonesia akan terus berkurang dalam proses yang lebih cepat dibandingkan pada masa sebelum krisis ekonomi.

1. Kebijakan Proteksi

Tujuan kebijakan ini ialah untuk melindungi industri di dalam negeri dari persaingan barang-barang impor. Oleh lantaran itu, kebijakan ini disebut juga dengan kebijakan proteksi. Kebijakan proteksi sanggup diterapkan dengan banyak sekali macam instrumen, baik yang berbentuk tarif maupun nontarif. Proteksi-proteksi yang dilakukan dengan tidak memakai tarif ini disebut non tarif barriers (NTB).

2. Tarif Impor

Tarif impor atau bea masuk merupakan salah satu instrumen penting dari kebijakan perdagangan luar negeri, baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Tarif impor pada hakikatnya ialah pajak untuk komoditas impor. Tarif impor ialah pembebanan bea masuk terhadap barang-barang yang melewati suatu negara. Dengan tarif, harga barang impor menjadi lebih mahal sehingga merugikan konsumen dalam negeri. Beberapa alasan diberlakukannya tarif ialah untuk memperlihatkan proteksi terhadap produsen dalam negeri, memelihara dan memperluas kesempatan kerja, serta meningkatkan penerimaan pajak negara. Dalam kaitannya, ada tiga macam tarif, yaitu bea ad. valorem atau bea harga, bea specific, dan bea compound.
  1. Bea ad. Valorem ialah pembebanan pungutan bea masuk yang dihitung atas dasar persentase tertentu terhadap nilai barang impor (persen tarif × harga barang). Misalnya, tarif bea masuk impor kendaraan beroda empat gres (CBU) 300%, harga kendaraan beroda empat itu sendiri contohnya US$10.000.000 dengan kurs rupiah Rp8.000,00 per 1US$ sehingga, harga kendaraan beroda empat itu di pasar dalam negeri Rp80 milyar, maka bea masuk kendaraan beroda empat gres = 300% × 80 milyar = 240 milyar.
  2. Bea Specific ialah pembebanan pungutan bea masuk yang dihitung atas dasar satuan atau ukuran fisik tertentu dari barang yang diimpor. Misalnya, bea masuk televisi Rp100.000,00 per unit, sepatu Rp10.000,00 per pasang dan seterusnya.
  3. Bea Compound atau disebut juga specific ad. valorem ialah kombinasi antara bea masuk ad. valorem dan bea masuk specific. Misalnya, untuk jenis barang tertentu dikenakan bea masuk hanya 5% dari harga barang tersebut ditambah dengan Rp100,00 per unit.
Perbedaan antara tarif bea masuk (a) dan (b) ialah bea ad. valorem sifatnya proporsional. Artinya jumlah bea masuk yang dibayar akan meningkat secara proporsional dengan peningkatan nilai barang. Adapun bea masuk specific bersifat represif artinya jumlah bea masuk yang dibayar relatif semakin kecil, kalau barang yang diimpor semakin besar jumlahnya.

3. Kuota

Kuota merupakan salah satu cara melaksanakan proteksi yang bersifat nontarif (NTB). Kuota ialah kebijakan pembatasan secara fisik jumlah barang yang masuk (impor) dan jumlah barang yang keluar (ekspor) melalui pasar domestik. Kuota yang diterapkan pada barang impor disebut kuota impor, dan kuota yang dikenakan pada barang ekspor disebut kuota ekspor. Pengaruh kuota terhadap permintan dan penawaran barang di pasar domestik sama dengan dampak tarif. Dari kebijakan dengan kuota, pemerintah tidak memperoleh penerimaan pajak.

4. Larangan Ekspor

Jumlah ekspor sanggup dibatasi. Pembatasan jumlah ekspor ini bertujuan, antara lain:
  1. mencegah barang-barang yang penting biar tidak jatuh ke negara yang dianggap sanggup membahayakan;
  2. menjamin ketersediaan barang dalam negeri dalam proporsi yang cukup;
  3. melakukan pengawasan produksi serta pengendalian harga dalam menjamin stabilitas ekonomi dalam negeri.
5. Larangan Impor

Larangan impor untuk produk-produk tertentu untuk selamanya atau selama jangka waktu tertentu dilakukan dengan memutuskan jumlah maksimumnya. Contoh larangan impor untuk modal narkoba dan senjata. Larangan impor pada hakikatnya ialah menutup kembali sektor-sektor tertentu dalam perekonomian dengan maksud untuk melindungi produsen di dalam negeri dari produk sejenis di luar negeri.

6. Subsidi

Subsidi merupakan salah satu kebijakan proteksi yang bersifat non tarif. Subsidi biasanya diberikan dalam bentuk sejumlah uang tertentu secara eksklusif atau tidak eksklusif melalui penurunan harga materi mentah, BBM, dispensasi pajak, pengembalian pajak, dan kemudahan kredit dengan bunga rendah pada industri di dalam negeri. Subsidi diberikan kalau pemerintah ingin mendorong produksi dalam negeri atau menargetkan bahwa impor suatu barang tidak melebihi jumlah tertentu. Dengan subsidi, pemerintah berharap biar produsen di dalam negeri sanggup menjual barangnya lebih murah, sehingga bersaing dengan barang impor. Pemberian subsidi akan kuat terhadap menurunnya biaya produksi perusahaan per unit.

Dalam perdagangan internasional, subsidi terutama sangat banyak dipakai sebagai instrumen proteksi bagi komoditas-komoditas pertanian, baik di negara-negara maju, menyerupai Prancis dan AS maupun di negara sedang berkembang, menyerupai Indonesia. Dengan demikian, harga komoditas pertanian di negara-negara tersebut terlalu rendah hingga merugikan para petani. (Sumber: Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran, Tulus Tambunan 2000)

7. Diskriminasi Harga

Diskriminasi harga diberikan oleh para produsen dalam pasar persaingan tidak tepat (monopoli atau oligopoli). Produsen sanggup memilih dua macam harga. Produsen sanggup menjual dengan harga yang sama kepada semua pembeli, atau menjual dengan harga yang berbeda kepada pembeli tertentu. Contoh dikala Jepang menjual salah satu produknya (TV merek Sony) di Amerika Serikat dengan harga lebih murah daripada di Jepang sendiri.
 Anda mungkin pernah melihat orang berjualan atau berdagang di suatu tempat Pintar Pelajaran Perekonomian Terbuka dan Perdagangan Internasional, Manfaat, Tujuan, Fungsi, Teori, Faktor Pendorong, Kebijakan, Devisa, Valuta Asing, Cara Pembayaran
Kurva 3. Diskriminasi Harga
Keterangan:

Monopolis dalam hal ini perusahaan Sony Jepang memaksimumkan laba di setiap pasar dengan cara menyamakan penerimaan marjinal dengan biaya marjinal (MR=MC). Perusahaan akan memutuskan harga yang lebih tinggi di pasar kalau kurva per mintaan yang dihadapinya kurang elastik (lebih curam). Pada permintaan yang lebih elastik (lebih landai) menyerupai di pasar AS yang kompetitif mereka akan memutuskan harga yang lebih rendah. Dumping ini hanya sanggup dilakukan kalau tidak ada lagi cara bagi para pembeli di negara yang mendapat harga lebih tinggi untuk dilayani dengan output dari negara lain.

C. Cara-Cara Pembayaran Internasional


Dalam melaksanakan transaksi ekonomi luar negeri, seorang pengusaha (eksportir/importir) sanggup memakai valuta abnormal sebagai alat pembayaran. Valuta abnormal yang dipakai dalam pembayaran valuta abnormal ini dinamakan devisa. Secara lebih terperinci, tujuan penggunaan devisa negara, yaitu sebagai berikut:
  1. untuk membayar barang-barang modal;
  2. untuk membayar cicilan utang dan bunga pinjaman luar negeri;
  3. untuk membiayai perjalanan dinas para pejabat pemerintah ke luar negeri;
  4. untuk memperlihatkan sumbangan kepada negara lain yang kekurangan dana dan negara yang dilanda bencana;
  5. untuk membiayai acara pembangunan pada umumnya.
Pembayaran internasional sanggup dilakukan dengan beberapa cara, yaitu sebagai berikut.

3.1. Tunai (Cash)


Pembayaran secara tunai biasanya dilakukan dengan memakai mata uang negara domestik maupun mata uang asing. Teknis pembayaran secara tunai antarnegara sanggup eksklusif dilakukan ke negara yang bersangkutan atau melalui bank.

Pembayaran cara ini dilakukan dengan memakai cek pada dikala barang dikirim oleh eksportir hal ini dilakukan karena:
  1. Memerlukan persediaan kas yang cukup besar
  2. Memungkinkan terjadinya kehilangan modal lantaran barang diterima kemudian
  3. Harus berdasarkan rasa percaya dan kejujuran dari eksportir.
Namun, pada umumnya cara menyerupai ini lebih banyak dipakai lantaran meringankan bagi importir yang mempunyai keterbatasan dari segi finansial (keuangan).

3.2. Open Account


Cara pembayaran ini merupakan kebalikan dari cara tunai. Dengan open account barang dikirim kepada importir tanpa disertai surat perintah membayar serta dokumen resmi lainnya. Dalam open account risiko pembayaran ditanggung oleh eksportir. Cara ini lebih efisien apabila antara pembeli dan penjual sudah saling mengenal, keadaan ekonomi dan politik stabil sehingga terhindar dari risiko perubahan kurs. Cara dilakukan dengan mengirim barang pada impotir tanpa disertai dokumen-dokumen dan perintah pembayaran. Pembayaran akan dilakukan sesudah beberapa waktu dan mengikuti kecerdikan dari pihak impotir. Oleh lantaran itu, risiko sebagian besar ditanggung oleh pihak eksportir. Misalnya, ekspotir harus mempunyai cukup modal untuk mengurangi risiko yang akan ditimbulkan. Namun, mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:
  1. Cara ini sanggup diterapkan dalam kondisi ekonomi dan politik yang stabil.
  2. Pembayaran yang dilakukan harus erat dengan pasar.

3.3. Letter of Credit (L/C)


Dalam transaksi ekspor atau impor penjual dan pembeli umumnya lebih banyak memakai letter of credit (L/C). Letter of credit ialah semacam surat jaminan yang dikeluarkan oleh bank atas transaksi jual beli barang yang dilakukan antarnegara. Pembayaran dengan L/C harus memenuhi kelengkapan syarat tertentu, antara lain syarat kelengkapan menyerupai dokumen yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan jasa pengiriman yang berisi pemberitahuan barang yang dikirimkan (bill of lading) dan akta asal negara (certificate of origin).

Di dalam cara pembayaran memakai letter of credit ada beberapa pihak yang terlibat, yaitu:
  1. Opener (importir) ialah pembeli yang membuka L/C
  2. Issuer ialah bank yang mengeluarkan L/C.
  3. Benefeciary ialah acreditee ialah penjual (eksportir).
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam sistem L/C, ialah sebagai berikut.
  1. Perjanjian wacana cara pembayaran dengan L/C oleh importir dan eksportir.
  2. Importir membuka L/C dengan bank di negaranya dengan mengisi permohonan pembukaan L/C.
  3. Jika permohonan tersebut disetujui, kemudian L/c ditandatangani oleh bank. Dengan demikian bank akan menjamin pembayaran kepada eksportir, sebaliknya importir akan menjamin pula pembayaran yang dilakukan oleh bank.
  4. Dengan ditandatangani permohonan L/C tersebut maka telah tersedia bagi importir unutk mengimpor barang dari eksportir.
  5. Kemudian bank (issuer) tersebut memerintahkan conforming bank kemudian membubuhkan namanya pada L/C tersebut untuk memperkuat jaminan pembayaran L/C.
  6. Barang kemudian dikirim oleh eksportir. Eksportir menarik wesel atas issuing bank dan mengirim wesel tersebut beserta dokumen-dokumen pengiriman barang. Conforming bank mengusut dokumen-dokumen tersebut.
  7. Wesel dan dokumen-dokumen tersebut oleh conforming bank dikirimkan kepada issuing bank.
  8. Setelah wesel tersebut ditandatangani oleh issuing bank maka barang dikeluarkan dari pelabuhan dan dikirimkan ke tempat importir sesudah menandatangani trust receipt.
  9. Pada tanggal yang telah ditentukan dalam wesel tersebut, importir membayar kepada issuing bank. Dengan demikian selesailah pembayaran dengan memakai L/C.
Secara skematis transaksi dengan memakai L/C sanggup digambarkan sebagai berikut.
 Anda mungkin pernah melihat orang berjualan atau berdagang di suatu tempat Pintar Pelajaran Perekonomian Terbuka dan Perdagangan Internasional, Manfaat, Tujuan, Fungsi, Teori, Faktor Pendorong, Kebijakan, Devisa, Valuta Asing, Cara Pembayaran
Bagan 1. Langkah-langkah dengan memakai letter of credit..

3.4. Commercial Bills of Exchange letter of credit


Bills of exchange sering disebut drafts atau trade bills ialah surat perintah kepada pembeli untuk membayar sejumlah uang tertentu pada waktu tertentu pada masa yang akan datang. Surat menyerupai ini sering disebut wesel.

D. Devisa dan Tujuan Penggunaannya


4.1. Pengertian Devisa dan Fungsinya


Devisa ialah sejumlah valuta abnormal yang dipakai untuk membiayai transaksi perdagangan internasional. Devisa biasanya berada di bawah pengawasan otoritas moneter. Dalam hal ini, bank sentral yang ada di suatu negara. Devisa berfungsi sebagai alat pembayaran luar negeri, terutama untuk membiayai impor, membayar cicilan utang luar negeri dan bunganya, transaksi internasional lainnya, dan menjadi penjamin nilai rupiah.

Valuta abnormal atau valas (foreign exchange) itu sendiri diartikan sebagai mata uang abnormal dan alat pembayaran lainnya yang dipakai untuk melaksanakan atau membiayai transaksi ekonomi dan keuangan internasional atau luar negeri. Valas biasanya mempunyai catatan kurs resmi pada bank sentral negara yang bersangkutan. Mata uang yang sering dipakai sebagai alat pembayaran dan kesatuan hitung dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional disebut hard currency. Adapun mata uang yang jarang dipakai sebagai alat pembayaran dan kesatuan hitung lantaran nilainya yang relatif tidak stabil disebut soft currency. Jumlah valas yang dimiliki oleh pemerintah dan swasta dari suatu negara disebut juga cadangan devisa. Cadangan devisa suatu negara terdiri atas cadangan devisa resmi (official forex reserve) dan cadangan devisa nasional (country forex reserve).

Cadangan devisa resmi atau cadangan devisa higienis merupakan jumlah valas yang benar-benar menjadi milik BI yang diperoleh dari pengurangan aktiva luar negeri bruto dengan kewajiban-kewajiban Bank Sentral dalam valas, antara lain sebagai berikut.
  1. Gross liabililty, ialah kewajiban dalam valas dengan masa jatuh tempo hingga dengan setahun (termasuk penggunaan dana IMF).
  2. Net-forward position, adalah kewajiban Bank Indonesia dalam valas terhadap penduduk (residents) dan bukan penduduk (non-residents) dalam bentuk transaksi forward (transaksi dikala penyerahan barang dan surat berharga pada tanggal tertentu dengan harga yang tetap).
  3. Devisa perbankan yang ada pada BI dalam memenuhi ke tentuan giro wajib minimum (GWM) valas. Cadangan devisa nasional merupakan penjumlahan cadangan devisa milik pemerintah dan cadangan devisa yang dimiliki oleh bank-bank devisa.

4.2. Sumber-Sumber Devisa


Besar kecilnya devisa suatu negara sangat dipengaruhi oleh perkembangan neraca pembayaran dan sektor moneter suatu negara. Devisa berasal dari dua sumber utama, yaitu sebagai berikut.
  1. Pendapatan ekspor neto (surplus transaksi berjalan), atau selisih antara ekspor barang dan jasa dengan impor barang dan jasa.
  2. Arus modal masuk neto (surplus neraca modal), atau selisih antara modal yang masuk dan modal yang keluar.
Di antara kedua sumber tersebut, pendapatan ekspor merupakan sumber utama penambahan devisa negara. Karena arus modal masuk bisa saja dalam bentuk pinjaman (utang luar negeri) yang harus dibayar kembali, atau investasi yang suatu dikala bisa menjadi arus modal keluar, kecuali investasi dalam bentuk penanaman modal abnormal (PMA).

4.3. Tujuan Penggunaan Devisa


Devisa dipakai sebagai instrumen untuk memperlancar transaksi internasional sekaligus sebagai jaminan bagi tercapainya stabilitas moneter dan ekonomi makro suatu negara. Ada empat tujuan utama penggunaan devisa, yaitu:
  1. membayar impor tahun yang bersangkutan;
  2. cadangan pembayaran tiga bulan impor tahun yang akan datang;
  3. membayar cicilan utang luar negeri dan bunganya;
  4. cadangan kekayaan pendukung nilai rupiah.
Tabel 3. Posisi Cadangan Devisa Indonesia, 1993-1997 (dalam juta dolar AS)

Akhir Periode
Cadangan Devisa Resmi
Aktiva Luar Negeri
1993
1994
1995
1996
1997
12.352,2
13.157,9
14.674,2
19.125,0
17.427,2
18.832,0
17.415,8
17.786,5
25.526,6
21.418,2

E. Valuta Asing dan Neraca Pembayaran


5.1. Pengertian dan Sistem Valuta Asing


Menurut Hamdy, valuta abnormal atau foreign currency ialah mata uang abnormal atau alat pembayaran lainnya yang dipakai untuk melaksanakan atau membiayai transaksi ekonomi keuangan internasional dan yang mempunyai catatan kurs resmi pada bank sentral (Iskandar Putong, 2003).

Penggunaan valuta abnormal atau mata uang abnormal sebagai alat pembayaran dalam perdagangan internasional disyaratkan lantaran umumnya negara-negara yang melaksanakan jual beli hanya menginginkan pembayaran atas barang yang diberikannya kepada negara lain dengan memakai mata uang negaranya, atau mata uang negara lain yang dianggap perlu, yang telah ditentukan sebagai standar internasional.

Setiap negara mempunyai mata uang yang memperlihatkan harga-harga barang dan jasa. Indonesia mempunyai rupiah, Amerika Serikat mempunyai dollar, Jerman mempunyai deutsche mark, Jepang mempunyai yen, Malaysia mempunyai ringgit, India mempunyai rupee, dan Filipina mempunyai peso. Harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya disebut kurs atau nilai tukar (exchange rate). Kurs memainkan peranan penting dalam perdagangan inter nasional lantaran kurs memungkinkan untuk membandingkan harga-harga seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh banyak sekali negara.

Dari beberapa banyak mata uang yang beredar di dunia terdapat beberapa mata uang yang dipergunakan sebagai satuan hitung yang banyak dicari dalam transaksi perdagangan dan alat pembayaran internasional. Mata uang yang dimaksud umumnya ialah mata uang yang berasal dari negara maju yang perekonomiannya kuat dan relatif stabil. Biasanya mata uang tersebut sering mengalami apresiasi (kenaikan nilai) dibandingkan dengan mata uang lainnya. Mata uang tersebut disebut mata uang keras (hard currency). Ada delapan mata uang yang diakui sebagai hard currencies, yaitu US dollar-Amerika Serikat, poundsterling-Inggris, deutsche mark (DM)-Jerman, yen-Jepang, franc-Perancis, canadian dollar-Canada, franc-Swiss, euro-Uni Eropa.

Adapun mata uang yang jarang dipakai sebagai alat pembayaran dan satuan hitung serta nilainya sering mengalami depresiasi (penurunan nilai) disebut soft currency. Pada umumnya, mata uang ini berasal dari negara-negara yang sedang berkembang, yang perekonomian nya relatif gres dan sedang tumbuh, contohnya Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Mata uang abnormal tidak diharapkan dalam pembangunan suatu negara kalau negara yang bersangkutan bisa menyediakan sarana dan prasarana pembangunan dari dalam negerinya sendiri, baik berupa materi baku, insan dan teknologi. Akan tetapi, mengingat perkembangan ilmu pengetahuan yang umumnya tidak merata
dan ketersediaan sumber daya alam pada suatu negara sangat terbatas, kurang bermutu dan bahkan hampir tidak ada (sedikit), menimbulkan suatu negara memerlukan negara lain untuk menutupi kekurangan kebutuhannya dalam pembangunan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan itulah, diharapkan mata uang abnormal tersebut, terutama mata uang yang berjenis hard currency.

Pemerintah melaksanakan pengawasan melalui kebijakan fiskal dengan menaikkan nilai pajak dengan menyetorkan belanja negara dan sebagainya biar jumlah penawaran mata uang lokal semakin sedikit dan ini diharapkan akan berdampak pada naiknya nilai mata uang lokal terhadap mata uang asing. (Sumber: Ekonomi Makro dan Mikro, Iskandar Putong 2003)

Secara ekstrem, di dunia ada dua sistem penetapan nilai tukar yang hingga dikala ini masih berlaku, yaitu sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate system) dan sistem nilai tukar tidak tetap atau mengambang (flexible atau floating exchange rate system). Dalam perkembangannya, Indonesia pernah menerapkan kedua sistem tersebut dengan segala variasinya. Berikut beberapa sistem nilai tukar yang pernah diterapkan di Indonesia.

5.1.1. Sistem Nilai Tukar Tetap (1970–1978)

Sistem nilai tukar tetap sebetulnya mulai diterapkan pada dikala dibuat forum dana moneter internasional (IMF) dan Bank Dunia pada 1944 di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat. Semua negara peserta konferensi sepakat akan meng gunakan emas atau dollar sebagai pecahan terbesar cadangan devisa mereka. Sistem Bretton Woods pada hakikatnya ialah sistem nilai tukar tetap. Sistem nilai tukar tetap versi Bretton Woods dipergunakan di Indonesia antara periode 1970–1978. Walaupun hingga dikala ini masih ada beberapa negara yang memakai sistem nilai tukar tetap, menyerupai Malaysia. Setelah periode tersebut, sistem ini mulai banyak ditinggalkan oleh negara-negara di dunia dan beralih ke sistem nilai tukar mengambang.

5.1.2. Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali (1978–1997)

Pemerintah menyadari bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar yang ditetapkan terlalu tinggi (over valued). Hal ini sanggup mengurangi daya saing produk-produk ekspor Indonesia di luar negeri. Bersamaan dengan kebijakan devaluasi terhadap dolar pada 15 November 1978 yang kemudian populer dengan nama KENOP 15 atau Kebijakan November 15, pemerintah meninggalkan sistem nilai tukar tetap dan beralih ke sistem nilai tukar mengambang. Dengan sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating) nilai tukar rupiah diambangkan terhadap sekeranjang mata uang (basket of currencies) negara kawan dagang utama Indonesia.

Sejak sistem ini dilaksanakan, pemerintah membiarkan nilai tukar domestik bergerak di pasar dengan selisih (spread) tertentu, yaitu memutuskan nilai batas atas dan nilai batas bawah. Interval antara kedua batas ini disebut rentang intervensi (band intervention). Namun demikian, selama Orde Baru telah dilaksanakan lima kali kebijakan penurunan kurs rupiah terhadap dolar (devaluasi) menyerupai telihat dalam Tabel 4. berikut.

Tabel 4. Perkembangan Kebijakan Devaluasi Rupiah

Tanggal
Sistem Nilai Tukar
Keterangan
9 Desember 1970
Tetap
Devaluasi rupiah dari 1 US$ = Rp 250 menjadi 1 US$ = Rp 378
23 Agustus 1971
Tetap
Devaluasi rupiah dari 1 US$ = Rp 378 menjadi 1 US$ = Rp 415
15 November 1978

Tetap

Devaluasi rupiah dari 1 US$ = Rp 415
menjadi 1 US$ = Rp 625
30 Maret 1983

Mengambang Terkendali

Devaluasi rupiah dari 1 US$ = Rp
702,5 menjadi 1 US$ = Rp 970
12 September 1986

Mengambang Terkendali

Devaluasi rupiah dari 1 US$ = Rp
1.134 menjadi 1 US$ = 1.644

5.1.3. Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas (1997–Sekarang)

Dalam Sistem nilai tukar mengambang bebas yaitu semenjak 14 Agustus 1997 hingga sekarang, nilai tukar rupiah dibiarkan secara bebas bergerak di pasar uang berdasarkan mekanisme pasar (interaksi kekuatan permintaan dan penawaran di masyarakat). Jika dalam nilai tukar tetap dan nilai tukar mengambang terkendali, orang mengenal istilah devaluasi dan revaluasi. Dalam nilai tukar mengambang bebas tidak dikenal kedua istilah tersebut, yang ada ialah istilah depresiasi dan apresiasi.

Pada periode sistem nilai tukar ini, kurs rupiah mengalami tekanan. Melemahnya nilai rupiah diakibatkan oleh krisis ekonomi yang dimulai oleh melemahnya nilai Baht Thailand yang kemudian kuat ke daerah ASEAN lainnya, termasuk Indonesia. Pada periode ini pula, penurunan nilai tukar rupiah mengalami puncaknya hingga pernah mencapai Rp16.000 per dolar Amerika. Meskipun pada bulan-bulan berikutnya mengalami penguatan, tetapi tetap mempunyai kecenderungan untuk terus melemah.

5.2. Beberapa Faktor Penyebab Perubahan Nilai Tukar Rupiah terhadap Valas


Beberapa faktor atau kondisi yang berbeda menimbulkan dampak dan perbedaan kurs di setiap negara. Perubahan nilai tukar terhadap valas sanggup disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut sanggup berupa faktor ekonomi maupun non ekonomi yang secara eksklusif maupun tidak eksklusif bekerjasama dengan tingkat permintaan dan penawaran valas.

5.2.1. Faktor Penyebab Nilai Tukar secara Langsung

Secara eksklusif permintaan dan penawaran valas akan dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut.
  1. Permintaan valas akan ditentukan oleh impor barang dan jasa yang memerlukan dolar atau valas lainnya dan ekspor modal dari dalam ke luar negeri.
  2. Penawaran valas akan ditentukan oleh ekspor barang dan jasa yang menghasilkan dolar atau valas lainnya dan impor modal dari luar negeri ke dalam negeri.
5.2.2. Faktor Penyebab Nilai Tukar secara Tidak Langsung

Adapun secara tidak eksklusif permintaan dan penawaran valas akan dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut.

1) Posisi Neraca Pembayaran

Saldo neraca pembayaran mempunyai konsekuensi terhadap nilai tukar rupiah. Jika saldo neraca pembayaran defisit, permintaan terhadap valas akan meningkat. Hal ini menimbulkan nilai rupiah melemah (terdepresiasi). Sebaliknya, kalau saldo neraca pembayaran surplus, permintaan terhadap valas akan menurun, dan hal ini menimbulkan nilai rupiah menguat (terapresiasi).

2) Tingkat Inflasi

Dengan perkiraan faktor-faktor lainnya tetap (ceteris paribus), kenaikan tingkat harga akan memengaruhi nilai tukar mata uang suatu negara. Sesuai dengan teori paritas daya beli (purchasing power parity) atau PPP, yang menjelaskan bahwa pergerakan kurs antar mata uang dua negara bersumber dari tingkat harga di kedua negara itu sendiri. Dengan demikian, berdasarkan teori ini, penurunan daya beli mata uang (yang ditunjukkan oleh kenaikan tingkat harga di negara yang bersangkutan) akan diikuti dengan depresiasi mata uangnya secara proporsional dalam pasar valuta asing. Sebaliknya, kenaikan daya beli mata uang domestik (misalnya rupiah) akan menjadikan apresiasi (penguatan nilai tukar) secara proporsional.

3) Tingkat Bunga

Dengan perkiraan ceteris paribus, adanya kenaikan suku bunga dari simpanan suatu mata uang domestik, akan menimbulkan mata uang domestik itu mengalami apresiasi (penguatan) terhadap nilai mata uang negara lain. Hal ini gampang dipahami lantaran dengan meningkatnya suku bunga deposito, misalnya, orang yang menyimpan asetnya di forum perbankan dalam bentuk rupiah akan mendapat kan pendapatan bunga yang lebih besar sehingga menimbulkan nilai rupiah terapresiasi.

4) Tingkat Pendapatan Nasional

Seperti halnya tingkat bunga, tingkat pendapatan nasional hanya akan memengaruhi nilai tukar melalui tingkat permintaan dolar atau valas lainnya. Kenaikan pendapatan nasional (yang identik dengan meningkatnya kegiatan transaksi ekonomi) melalui kenaikan impor akan meningkatkan permintaan terhadap dolar atau valas lainnya sehingga menimbulkan nilai rupiah terdepresiasi dibandingkan dengan dolar atau valas lainnya.

5) Kebijakan Moneter

Kebijakan pemerintah untuk memengaruhi kegiatan ekonomi sanggup memengaruhi pergerakan kurs. Misalnya, kebijakan Bank Indonesia yang bersifat ekspansif (dengan menambah jumlah uang beredar) akan mendorong kenaikan harga-harga atau inflasi. Pada kesudahannya menimbulkan rupiah mengalami depresiasi lantaran menurunkan daya beli rupiah terhadap barang dan jasa di bandingkan dolar atau valas lainnya.

6) Ekspektasi dan Spekulasi

Untuk sistem nilai tukar yang diserahkan kepada mekanisme pasar secara bebas, menyerupai halnya rupiah dan sebagian besar mata uang negara-negara di dunia, perubahan nilai tukar rupiah sanggup disebabkan oleh faktor-faktor nonekonomi. Ketidakstabilan pada faktor-faktor nonekonomi (misalnya lantaran ledakan bom atau gangguan keamanan) akan ber dampak terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri.

Faktor-faktor yang mempengaruhi valas tersebut sanggup dilihat dalam denah berikut.
 Anda mungkin pernah melihat orang berjualan atau berdagang di suatu tempat Pintar Pelajaran Perekonomian Terbuka dan Perdagangan Internasional, Manfaat, Tujuan, Fungsi, Teori, Faktor Pendorong, Kebijakan, Devisa, Valuta Asing, Cara Pembayaran
Bagan 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kurs valas.

5.3. Menghitung Nilai Tukar Berdasarkan Kurs yang Berlaku


Tiga prinsip pokok dalam penentuan kurs, yaitu sebagai berikut.
  1. Pengertian kurs jual dan beli selalu dilihat dari pihak bank atau money changer atau pedagang valas. Kurs jual ialah nilai tukar yang ditawarkan oleh pihak penjual atau pedagang valas. Adapun kurs beli ialah nilai tukar yang diminta oleh pembeli valas.
  2. Kurs jual selalu lebih tinggi dari kurs beli dan sebaliknya kurs beli selalu lebih rendah dari kurs jual.
  3. Kurs jual/beli dari mata uang (valas) ialah sama dengan kurs beli/jual dari mata uang (valas) lawannya. Dengan kata lain, kurs jual/beli rupiah ialah sama dengan kurs beli/jual dolar.
Dengan mengetahui kurs atau nilai tukar, seseorang sanggup menghitung berapa nilai suatu barang kalau dinyatakan dalam mata uang negara lain.

Tabel 5. berikut memperlihatkan nilai tukar beberapa mata uang negara di dunia.

Tabel 5. Nilai Tukar Rupiah terhadap Beberapa Mata Uang Negara Lain

Mata Uang
Kurs Beli (Rupiah)
Kurs Jual (Rupiah)
US $ (Dolar Amerika Serikat)
Pound (Poundsterling Inggris)
Aust $ (Dolar Australia)
Sin $ (Dolar Singapura)
Yen (Yen Jepang)
HK $ (Dolar Hongkong)
Euro
9.249,00
17.864,44
7.185,55
5.684,24
89,54
1.188,25
12.572,17
9.341,00
18.046,81
7.262,63
5.707,91
90,48
1.200,23
12.699,09
Sumber: Bank Indonesia yang dikutip dari Kompas, 29 Desember 2004

Sebagai contoh, seorang pengusaha akan membayar barang impornya seharga US$6.000 dan 100.000 Yen. Berapa rupiah yang harus dikeluarkan oleh pengusaha tersebut? Sebelum nya pengusaha atau pengimpor itu akan pergi ke pedagang valas atau bank devisa untuk menukarkan rupiahnya dengan dolar dan yen. Dalam hal ini ia berada pada posisi sebagai pembeli valas, sedangkan bank atau pedagang valas berada pada posisi sebagai penjual. Dengan memakai tabel tersebut, jumlah rupiah yang harus ia keluarkan, yaitu sebagai berikut.

Rp(9.341x6.000)+(100.000x90,48)
= Rp56.046.000,00+Rp 9.048.000,00
= Rp65.094.000,00

5.4. Pengertian Neraca Pembayaran


Neraca pembayaran (balance of payment/BOP) ialah catatan sistematis dari semua transaksi ekonomi internasional (perdagangan, investasi, pinjaman) yang terjadi antara penduduk dalam suatu negara dan penduduk di negara lain selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun), dan dinyatakan dalam valas keras (hard currency). BOP sangat berkhasiat lantaran memperlihatkan struktur dan komposisi transaksi ekonomi dan posisi keuangan internasional suatu negara.

Lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti, IMF, Bank Dunia, dan negara-negara donor memakai BOP sebagai salah satu indikator dalam mempertimbangkan pemberian pinjaman luar negeri kepada suatu negara. BOP merupakan salah satu indikator mendasar ekonomi suatu negara, di samping variabel-variabel ekonomi makro lainnya, menyerupai pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, tingkat suku bunga, inflasi, dan nilai tukar.

5.5. Komponen-Komponen Neraca Pembayaran


Pada dasarnya neraca pembayaran terdiri atas tiga komponen pokok, yaitu sebagai berikut.

5.5.1. Neraca Transaksi Berjalan (Current Account)

Neraca transaksi berjalan (current account) ialah neraca perdagangan barang dan jasa suatu negara dengan negara lainnya dalam suatu periode waktu tertentu. Transaksi berjalan memperlihatkan laba atau kerugian dari negara dalam transaksi sehari-hari. Setiap transaksi internasional dicatat dalam sisi kredit (+) atau dalam sisi debet (-) neraca pembayaran. Aturan yang dijadikan pedoman dalam pencatatan transaksi internasional dalam neraca pembayaran ialah sebagai berikut.

Jika transaksi akan memperlihatkan tambahan mata uang abnormal (menambah cadangan devisa), hal tersebut akan dicatat di sisi kredit. Jika transaksi menjadikan berkurangnya mata uang abnormal (mengurangi cadangan devisa), hal tersebut akan dicatat di sisi debet. Pengaruh positif dan negatif atas transaksi neraca pembayaran terlihat dalam Tabel 6. berikut.

Tabel 6. Pengaruh Berbagai Transaksi terhadap Neraca Pembayaran

No.
Akibat Negatif (Debet)
Akibat Positif (Kredit)
1.
Setiap pembelian barang dan jasa
dari luar negeri (impor)
Setiap penjualan barang dan jasa ke
luar negeri (ekspor)
2.
Setiap investasi di negara lain
Setiap perolehan atas investasi di
negara lain
3.
Setiap pembayaran ke negara lain
Setiap penerimaan uang dari negara
lain
4.
Setiap hibah atau pinjaman yang
diberikan kepada negara lain
Setiap hibah atau pinjaman dari negara
lain
5.
Setiap pembelian persediaan atau
surat berharga dari luar negeri
Setiap penjualan persediaan atau surat
berharga ke luar negeri
Sumber: Todaro, 2000

Dalam neraca transaksi berjalan terdapat dua pos transaksi yaitu:

1) Neraca Perdagangan (Balance of Trade)

Neraca perdagangan (balance of trade) ialah suatu pernyataan mengenai perdagangan barang (goods) suatu negara dengan negara lain dalam jangka waktu tertentu. Neraca perdagangan tidak memasukkan perdagangan di bidang jasa. Hal yang dicatat dalam neraca perdagangan meliputi barang-barang migas dan nonmigas (yang terlihat/visible). Neraca ini memperlihatkan selisih antara nilai ekspor dan impor barang-barang migas dan nonmigas tersebut. Contoh perkembangan neraca perdagangan Indonesia terlihat pada Tabel. 7 berikut.

Tabel 7. Perkembangan Neraca Perdagangan Indonesia periode 1994/95–1997/98 (dalam juta US$)

Perincian
1994/1995
1995/1996
1996/1997
1997/1998
A. Ekspor (fob)
42.161
47.754
52.038
54.605
• Migas
10.445
10.616
12.771
11.019
• Non-migas
31.716
37.138
39.267
43.586
B. Impor (fob)
–34.122
–41.502
–45.957
–45.957
• Migas
–3.646
–3.906
–3.804
–3.804
• Non-migas
–30.476
–37.597
–42.153
–42.153
C. Neto (A–B)
8.039
6.252
6.081
8.648
Sumber: BPS

2) Neraca Jasa (Invisible Balance)

Neraca jasa (invisible balance) ialah suatu pernyataan perdagangan di bidang jasa (service) suatu negara dengan negara lainnya dalam jangka waktu tertentu. Neraca jasa tidak memasukkan perdagangan barang (goods) dan berkonsentrasi pada penerimaan devisa (valuta asing) dan penerimaan yang berkaitan dengan perbankan, asuransi, dan pariwisata.

Transaksi ini meliputi pembayaran atas jasa-jasa tertentu menyerupai jasa perbankan, asuransi, dan pariwisata. Transaksi ini juga meliputi bunga dan laba dari investasi dan pinjaman, penerimaan dan pengeluaran pemerintah untuk pertahanan, serta pengadministrasian luar negeri. Berbeda dengan neraca perdagangan, pencatatan neraca jasa diambil dari data perusahaan atau forum keuangan. Data tersebut kemudian dicatat dan dilaporkan kepada Bank Sentral negara tersebut.

Seperti halnya neraca perdagangan, neraca jasa dibedakan atas ekspor dan impor jasa. Contoh yang termasuk ekspor jasa, contohnya pelayanan penerbangan Garuda bagi warga negara asing, dan pengiriman TKI ke luar negeri. Adapun yang termasuk impor jasa, antara lain penggunaan jasa transportasi dan asuransi asing, pemakaian jasa konsultan asing, dan pembayaran bunga utang luar negeri. Neraca jasa yang negatif, dalam arti nilai impor jasa lebih besar dari nilai ekspornya menjadi penyebab utama defisitnya saldo transaksi berjalan.

Contoh perkembangan neraca jasa Indonesia terlihat pada Tabel 8. berikut.

Tabel 8. Perkembangan Neraca Jasa Indonesia periode 1994/95–1997/98 (dalam juta US$)

Perincian
1994/1995
1995/1996
1996/1997
1997/1998
• Migas
–3.012
–3.238
–3.541
–4.403
• Non migas
–8.515
–10.001
–10.747
–10.587
Neto
–11.527
–13.239
–14.288
–14.990
Sumber: BPS

International Monetary Fund (IMF) menciptakan denah neraca jasa Indonesia menyerupai terlihat pada Bagan 3. berikut.
 Anda mungkin pernah melihat orang berjualan atau berdagang di suatu tempat Pintar Pelajaran Perekonomian Terbuka dan Perdagangan Internasional, Manfaat, Tujuan, Fungsi, Teori, Faktor Pendorong, Kebijakan, Devisa, Valuta Asing, Cara Pembayaran
Bagan 3. Neraca Jasa Indonesia Menurut Klasifikasi IMF.
Di dalam neraca transaksi berjalan terdapat satu pos penting. Pos tersebut ialah transaksi unilateral atau sepihak yang tidak menimbulkan hak atau kewajiban, baik bagi si pemberi maupun bagi si penerima. Hal yang termasuk dalam pos ini ialah hadiah/hibah (gift) dan pinjaman (aid). Bantuan tersebut merupakan transaksi debet bagi si pemberi dan merupakan transaksi kredit bagi si penerima.

5.5.2. Neraca Modal (Capital Account)

Neraca modal (capital account) mencatat arus modal masuk dan keluar, baik modal jangka panjang maupun jangka pendek (misalnya investasi eksklusif atau tidak eksklusif melalui pembelian surat berharga luar negeri), yang terdiri atas modal pemerintah dan modal swasta neto. Modal pemerintah neto ialah selisih antara pinjaman gres dari luar negeri dan pelunasan utang pokok dari pinjaman periode sebelumnya. Lalu lintas swasta neto ialah selisih antara dana investasi dan pinjaman swasta luar negeri dan pelunasan utang pokok swasta serta dana investasi ke luar negeri.

5.5.3. Neraca Moneter (Monetary Account)

Neraca moneter (monetary account) ialah perubahan cadangan devisa berdasarkan transaksi arus devisa yang masuk dan keluar dari suatu negara dalam periode tertentu yang dicatat oleh Bank Sentral. Neraca ini berfungsi sebagai neraca penyeimbang (settlement account).

Rangkuman :

a. Perdagangan internasional sanggup didefinisikan sebagai perdagangan antar atau lintas negara, yang meliputi ekspor dan impor barang dan jasa.

b. Motif untuk melaksanakan perdagangan inter nasional ialah lantaran adanya manfaat dari perdagangan (gain from trade) yang mungkin diperoleh kedua negara.

c. Manfaat perdagangan internasional antara lain:
  1. menambah devisa negara;
  2. meningkatkan produksi di dalam negeri;
  3. memperluas kesempatan kerja;
  4. realokasi sumber daya produksi;
  5. adanya diversifikasi produk.
d. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya perdagangan internasional antara lain adalah: perbedaan sumber daya atau faktor produksi, perbedaan kondisi dan kualitas sumber daya atau faktor produksi, serta adanya laba dari spesialisasi.

e. Selain faktor-faktor tersebut, faktor lain yang mendorong perdagangan internasional ialah lantaran adanya perbedaan permintaan dan penawaran antara dua negara, adanya daerah gres untuk pemasaran produk (vent of surplus), dan adanya siklus produk.

f. Faktor yang ikut memilih keberhasilan perdagangan internasional suatu negara ialah lantaran adanya keunggulan kompetitif yang dimiliki, antara lain teknologi yang tinggi, tingkat kewirausahaan yang tinggi, tingkat efisiensi atau produktivitas yang tinggi dalam proses produksi, kualitas dari materi yang diproduksi, promosi yang meluas dan agresif, SDM dengan etos kerja dan kreativitas yang tinggi, pelayanan purnajual yang memuaskan dan sebagainya.

g. Neraca pembayaran (balance of payment/BOP) ialah catatan sistematis dari semua transaksi ekonomi internasional (perdagangan, investasi, pinjaman, dan sebagainya) yang terjadi antara penduduk dalam suatu negara dan penduduk di negara lain selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun), dan dinyatakan dalam dolar AS.

h. Pada dasarnya neraca pembayaran terdiri atas tiga komponen pokok, yaitu neraca transaksi berjalan (yang terdiri atas neraca perdagangan dan neraca jasa), neraca modal, dan neraca moneter.

i. Neraca pembayaran dikatakan defisit apabila terjadi penurunan pada cadangan devisa (tanda positif pada neraca kemudian lintas moneter), dan neraca pembayaran dikatakan surplus apabila terjadi peningkatan cadangan devisa (tanda negatif pada neraca kemudian lintas moneter).

j. Devisa ialah sejumlah valuta abnormal yang dipakai untuk membiayai transaksi per dagangan inter nasional.

k. Devisa berasal dari dua sumber utama, yaitu sebagai berikut.
  1. Pendapatan ekspor neto (surplus transaksi berjalan), atau selisih antara ekspor barang dan jasa dengan impor barang dan jasa.
  2. Arus modal masuk neto (surplus neraca modal), atau selisih antara modal yang masuk dan modal yang keluar.
Referensi :

Arifin, I. dan G. H. Wagian. 2009. Membuka Cakrawala Ekonomi 2 : Untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas/Mandrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Sosial. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 170.

No comments:

Post a Comment